Laailahaillallah Muhammad Rasulullah Amirul Mukminin Waliyullah

Pangkal agama ialah makrifat tentang Dia, kesempurnaan makrifat (pengetahuan) tentang Dia ialah membenarkan-Nya, kesempurnaan pembenaran-Nya ialah mempercayai Keesaan-Nya, kesempurnaan iman akan Keesaan-Nya ialah memandang Dia Suci, dan kesempurnaan Kesucian-Nya ialah menolak sifat-sifat-Nya, karena setiap sifat merupakan bukti bahwa (sifat) itu berbeda dengan apa yang kepadanya hal itu disifatkan, dan setiap sesuatu yang kepadanya sesuatu disifatkan berbeda dengan sifat itu. Maka barangsiapa melekatkan suatu sifat kepada Allah (berarti) ia mengakui keserupaan-Nya, dan barangsiapa mengakui keserupaan-Nya maka ia memandang-Nya dua, dan barangsiapa memandang-Nya dua, mengakui bagian-bagian bagi-Nya, dan barangsiapa mengakui bagian-bagian bagi-Nya (berarti) tidak mengenal-Nya, dan barangsiapa tidak mengenal-Nya maka ia menunjuk-Nya, dan barangsiapa menunjuk-Nya (berarti) ia mengakui batas-batas bagi-Nya, dan barangsiapa mengakui batas-batas bagi-Nya (berarti) ia mengatakan jumlah-Nya.

Powered By Blogger

Another Year Closer to His Arrival


Musim panas akan segera berakhir. Namun sengatan udaranya masih terasa mencekik penduduk kota madinah. Kering sepanjang tahun, dan harga barang-barang yang semakin mahal, menambah penderitaan penduduk kota itu.
Musim memetik kurma tiba. Penduduk Madinah baru hendak bernafas lega, Tiba – tiba Nabi – disebabkan berita dan ancaman pasukan Romawi terhadap kaum Muslimin yang berdomisili di Timur Laut – mengumandangkan jihad dan memerintahkan kaum Muslimin bersiap – siaga.
Penduduk Madinah baru melalui musim kemarau dan ingin menikmati buah – buahan yang segar. Tidak mudah memang, meninggalkan panen dan buah-buahan, terlebih lagi setelah melewati musim kemarau; lalu berjalan ke Syam dalam jarak yang begitu jauh. Orang-orang munafik mempunyai alasan untuk melakukan provokasi. Namun udara panas musim kemarau dan usaha provokasi orang-orang munafik, tidak dapat menghambat kepergian pasukan Islam yang berjumlah 30.000 orang, untuk menghadapi kemungkinan serangan pasukan dari Romawi itu.
Nabi dan sahabat – sahabatnya bergerak melalui padang pasir, dibawah panas terik matahari dan kekurangan kendaraan serta bekal yang dibawa. Hal ini sebenarnya, tidak kurang bahayanya dari ancaman musuh itu sendiri. Di tengah jalan, sebagian yang lemah iman merasa menyesal setibanya di medan. Tidak diduga, tiba – tiba seseorang yang bernama Ka’ab bin Malik pulang.”
“Biarlah, kata Nabi. “Kalau memang kehadirannya akan membawa kebaikan, Allah tentu akan mengembalikannya kepada kalian, dan jika tidak, berarti Allah telah menyelamatkan kalian dari bahayanya.”
Tidak lama kemudian, sahabat yang lain berkata; “Ya Rasulullah, Mararah bin Rabi’ juga pulang.”
“Biarlah, kalau memang kehadirannya membawa kebaikan, Allah tentu akan mengembalikannya kepada kalian: dan jika tidak, berarti Allah telah menyelamatkan kalian dari bahaya.”
Sejenak kemudian, sahabat berkata lagi, “Ya Rasulullah, Hilal bin Umayyah juga pulang!”
Rasulullah tetap menjawab seperti yang dikatakannya untuk dua orang sebelum ini.
Sementara itu, unta Abu Dzar yang tadinya berangkat bersama – sama dengan rombongan kafilah, tiba – tiba mogok di tengah jalan. Betapapun Abu Dzar berusaha menggerakkan untanya itu, namun hasilnya tetap saja sia – sia. Tiba – tiba sahabat sadar bahwa Abu Dzar ternyata tidak ada. “Ya Rasulullah, Abu Dzar juga tidak ada!” Mereka berteriak.”
Dengan tenang Nabi menjawab: “Biarkanlah! Kalau memang kehadirannya akan membawa kebaikan, Allah tentu akan mengembalikannya kepada kalian, dan jika tidak, berarti Allah telah menyelamatkan kalian dari bahayanya.”
Betapapun Abu Dzar berusaha untuk mendorong untanya agar dapat mengejar kafilah, namun hasilnya masih tetap sia – sia. Akhirnya diambilnya barang – barangnya, dan dia berjalan kaki meninggalkan untanya. Matahari dengan dahsyatnya menyengat kepala Abu Dzar. Dia amat sangat kehausan. Tidak dihiraukannya dirinya lagi. Yang dipikirkannya hanyalah keinginannya untuk segera sampai ke kafilah Nabi dan sahabat – sahabatnya, serta bergabung dengan mereka.
Dengan semangat baja. Abu Dzar terus melangkahkan kakinya menelusuri padang pasir. Entah bagaimana. Tiba – tiba matanya terpandang pada segumpalan awan yang hinggap di suatu sudut langit. Abu Dzar berkesimpulan bahwa hujan baru saja turun, beberapa saat lalu. Dibelokkannya jalannya kea rah itu. Disana dia menjumpai batu besar yang menampung sedikit sisa – sisa hujan. Abu Dzar menghirupnya sedikit, dan tidak meneguknya sampai puas. “Sebaiknya air ini kubawakan untuk Rasulullah, mungkin beliau merasa haus dan tidak mempunyai persediaan air yang cukup, “pikirnya.
Dituangkannya air itu ke dalam qirbah (tempat air) yang dibawanya, lalu dipikulnya bersama – sama barang bawaannya yang lain. Dengan semangat yang tinggi, dia menelusuri tinggi rendahnya padang pasir, hingga dari kejauhan, tampak bayangan hitam pasukan kaum Muslimin. Hatinya semakin bergelora, dan dia memacu jalannya lebih cepat lagi.
Dari jauh pula, salah seorang prajurit Islam melihat bayangan hitam tengah mendekati mereka. “Ya Rasulullah! Seakan – akan ada seseorang yang tengah datang ke arah kita,” katanya kepada Nabi.
“Alangkah baiknya kalau itu Abu Dzar, “ jawab Nabi.
Bayangan tadi bertambah dekat. Tiba – tiba seseorang berteriak: “Demi Allah, dia adalah Abu Dzar.!”
Lalu Nabi berkata: “Semoga Allah ampunkan Abu Dzar. Abu Dzar hidup sendirian, mati sendirian, dan akan dibangkitkan sendirian.”
Nabi menyambut Abu Dzar. Diambilnya pikulan Abu Dzar dari pundaknya, lalu diletakkannya di tanah. Karena terlalu letih dan haus, Abu Dzar pun terjatuh tanpa daya.
“Ambilkan air. Beri dia minum, dia sangat haus.”
“ Ya Rasulullah, aku punya air,” sahut Abu Dzar.
“Engkau mempunyai air, tapi kau tidak minum?” Tanya Nabi.
“Betul Ya Rasulullah. Demi Allah, tadi aku melihat batu besar yang menampung air dingin sekadarnya. Setelah kuhirup sedikit, kukatakan kepada diriku: tenggorokan ini tidak akan meneguknya sebelum kekasihku, Muhammad Rasulullah, meneguknya.”

"Murtadha Muthahhari, Kisah Sejuta Hikmah hlm. 164-168, Pustaka Hidayah." Bundel al-Tanwir Yayasan Muthahhari.

Untaian Bertali


Aminah, ibunda Nabi Muhammad saw, meriwayatkan,

"Ketika aku melihat pedang-pedang di sekelilingku, aku bingung sekali. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku tahu banyak orang yang menginginkan kematianku. Ketika aku berdiri kebingungan, janin dalam rahimku bergerak, dan aku mendengar sesuatu seperti mengerang. Mendadak sontak datang jeritan dari langit, dan jeritan itu membuat pinsan semua orang. Lelaki dan perempuan berjatuhan tertelungkup, sepertinya mereka mati. Aku layangkan pandanganku ke langit, ke sumber pekikan, dan aku lihat seakan-akan pintu-pintu gerbang langit terbuka, lalu seorang satria muncul sembari membawa sebuah tombak api. Satria berkata,'Kamu tak akan dapat mendekati Utusan Tuhan Maha Besar, sedangkan aku adalah saudaranya, Jibril!' Setelah itu aku merasa lega dan kembali sedar. Aku sedar bahwa putraku, Muhammad, sesungguhnya adalah Utusan Allah. Kemudian semua orang pada pulang ke rumah. Abu Thalib menggandeng tangan Abdullah menuju ke halaman Ka'bah. Di sana mereka saling mengucapkan selamat atas kehormatan dan kemenangan yang dianugerahkan Allah Ta'ala kepada mereka. Yang lainnya tetap tak bergerak. Selama tiga jam mereka berada dalam kondisi seperti ini. Kemudian beransur-ansur mereka bangkit. Mereka kelihatan seperti tengah mabuk."

Tauhid Dan Keadilan


Keadilan ilahi merupakan salah satu dari permasalahan yang sangat penting dalam akhidah dan teologi. Keadilan sebagaimana halnya dengan tauhid merupakan salah satu pembahasan sifat Allah. Akan tetapi, karena pentingnya menerima dan meyakini sifat tersebut sehingga memiliki tempat khusus dalam perbahasan akhidah dan teologi Islam. Karena urgensinya, pembahasan tersebut ia menjadi salah satu dari rukun-rukun iman (ushuluddin) yang lima atau rukun-rukun keimanan mazhab (ushulul mazhab) disamping rukun-rukun yang lain seperti tauhid, kenabian, keimamahan, eskatologi (ma’ad, hari akhirat), dan tidak dinafikan lagi bahwa posisi yang penting ini disebabkan oleh beberapa faktor. Di sini kami hanya akan menyebutkan dua faktor yang paling penting:

1. Keadilan Ilahi memiliki cakupan yang sangat luas, penerimaan atasnya memiliki peranan yang sangat penting terhadap pandangan kita terhadap Tuhan, dan dengan kata lain teologi Islam bergantung pada keadilan ilahi. Keadilan Ilahi memiliki hubungan yang sangat erat dengan sistem penciptaan alam (takwini) dan hukum-hukum agama (tasyri’i), penerimaan atas konsep keadilan ilahi akan merubah seluruh pandangan hidup kita terhadap dunia, selain itu, keadilan ilahi merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam menetapkan persoalan eskatologi, pahala, siksa, dan azab akhirat, dan pada akhirnya keadilan Ilahi bukanlah hanya persoalan teologi semata dan perbedaan sudut pandang teologis. Keimanan terhadap qadha dan qadar Ilahi, memilik sudut pandang pendidikan dalam perilaku manusia, memberikan semangat untuk menegakkan keadilan, dan memberantas kezaliman dalam kehidupan bermasyarakat dan kemanusian.

2. Keadilan Ilahi dalam sejarah pemikiran teologi terutama pada abad pertama sejarah Islam sudah menjadi perbincangan dan perdebatan. Para Imam Suci sejak awal sudah menegaskan tentang keadilan Ilahi, sehingga kalimat tersebut menjadi syiar bagi mazhab Syiah Imamiah. Tauhid dan keadilan adalah pandangan pendukung Imam Ali As dan tasybih (penyerupaan Tuhan dengan makhluk-Nya) dan keterpaksaan (jabr, determinasi) adalah pandangan para pendukung Muawiyyah.

Teologi Imamiah dan teologi Muktazilah mengikuti jejak para Imam Suci tersebut dalam pandangan tentang keadilan Ilahi dan pada akhirnya terkenal sebagai kelompok ‘Adliyyah yang berseberangan dengan kelompok Asy’ariyyah yang menolak pandangan terhadap keadilah Ilahi, Asy’ariyyah mengingkari defenisi keadilan yang dipahami secara umum. Dalam pandangan mereka, Tuhan bisa saja memasukkan seluruh Mukmin ke dalam neraka dan memasukkan seluruh kafir ke dalam syurga, karena segala perbuatan Tuhan itu adalah keadilan itu sendiri.

Bagaimana pun, dalam masalah ini, sebagaimana halnya pembahasan qadha dan qadar, keterpaksaan dan kehendak bebas, para pemimpim zalim ketika mereka merebut khilafah dengan cara yang tidak sah dan lalu menyandarkan khilafahnya kepada Rasulullah Saw, dan untuk menjaga kepentingan mereka yang tidak sesuai dengan syariat mereka kemudian menolak pandangan keadilan Ilahi untuk membenarkan seluruh perbuatan ketidakadilan dan kedzaliman mereka, oleh karena itu, dalam catatan sejarah pembahasan keadilan Ilahi merupakan faktor yang sangat penting dan mempunyai posisi yang lebih strategis dibanding dengan sifat-sifat Tuhan yang lain.

Orang-Orang Baik


Ya Tuhanku! Tetapi bumi tak pernah kosong dari orang-orang yang memelihara hujah Allah, baik secara terbuka dan terkenal ataupun, karena takut, tersembunyi, agar hujah dan bukti-bukti Allah tidak disangkal. Berapa banyak mereka dan di manakah mereka? Demi Allah, jumlah mereka sedikit, tetapi mereka besar dalam kehormatan di hadapan Allah. Melalui mereka Allab menjaga hujah-hujah-Nya dan bukti-bukti-Nya sampai mereka mengamanatkannya kepada orang lain seperti mereka sendiri dan menebarkan benihnya di hati orang-orang yang sama dengan mereka. Pengetahuan telah mengantarkan mereka kepada pernahaman yang sesungguhnya dan dengan demikian mereka mengaitkan dirinya dengan semangat keyakinan. Mereka mengentengkan apa yang dianggap sukar oleh orang-orang yang mengentengkan. Mereka sangat mencintai apa yang dianggap aneh oleh orang jahil. Mereka hidup di dunia ini dengan tubuh mereka di sini, tetapi ruh mereka tinggal tinggi di atas. Mereka adalah para khalifah Allah di bumi dan penyeru kepada agama-Nya. Betapa rindu saya akan melihat mereka.- AMIRUL MUKMININ AS


Pancaran Bathil

Tentang Kaum Munafik

Mereka telah menjadikan setan sebagai majikan atas urusan mereka, dan ia mengambil mereka sebagai mitra.[1] la telah bertelur dan menetaskannya di dada mereka. la menjalar dan merayap dalam pangkuan mereka. la melihat melalui mata mereka, dan berbicara dengan lidah mereka. Secara ini ia memimpin mereka ke perbuatan dosa, dan menghiasi mereka dengan hal-hal kotor sebagai tindakan seseorang yang telah dijadikan mitra oleh setan dalam wilayah kekuasaannya dan berbicara batil melalui lidahnya. •
[1] Amirul Mukminin mengatakan tentang para munaf'ik (yakni orang-orang yang menentangnya sebelum dan setelah kekhalifahannya), bahwa mereka adalah mitra, penolong dan pendukung setan. la telah bersahabat dengan mereka, membuat tempat tinggalnya pada diri mereka, tinggal dalam dada mereka, bcrtelur dan menetaskan anak-anaknya di situ, sementara anak-anak ini melompat dan bermain-main pada pangkuannya tanpa segan. la maksudkan bahwa gagasan-gagasan jahat setan lahir dari dada mereka dan tumbuh dan berkembang di situ. Tak ada kekangan pada mereka, tak ada pula halangan apa pun. la telah demikian meresap ke dalam darah dan bercampur dengan jiwa mcreka sehingga keduanya bersatu sepenuhnya. Sekarang, mata adalah milik mereka telapi penglihatannya adalah penglihatan setan, lidah adalah milik mereka, tetapi kata-katanya adalah kata-kata setan, sebagaimana telah dikatakan Nabi, "Sesungguhnya iblis merembesi keturunan Adam seperti darah." Yakni, sebagaimana peredaran darah tak berhenti, demikian pula keberlanjutan yang cepat dari gagasan-gagasan jahat iblis. Dan ia menarik mereka kepada kejahatan dalam tidur dan jaga, dalam setiap sikap, bangkit atau duduk. la mewarnai mereka dengan celupannya sehingga perkataan dan tindakannya mencerminkan perkataan dan perbuatan setan. Orang-orang yang dadanya bersinar dengan kelimpahan iman mencegah gagasan-gagasan jahat seperti itu: tetapi, sebagian orang siap sedia menyambut kejahatan-kejahatan itu, dan inilah orang-orang yang berselubungkan jubah Islam yang selalu mencari-cari hojatan.

Kilauan Nur


Tentang keluarga (āl) Nabi, Amirul Mukminin mengatakan bahwa tidak ada orang di dunia ini yang setaraf dengan mereka, tak ada pula orang yang dapat dianggap sama dengan mereka dalam kemuliaan, karena dunia ini penuh dibebani tanggung jawab mereka dan hanya mampu mendapatkan rahmat abadi melalui bimbingan mereka. Mereka adalah batu penjuru dan fondasi agama serta pemelihara kehidupannya dan kelanjutannya. Mereka adalah tiang-tiang pengetahuan dan keimanan yang demikian kuat sehingga dapat menyingkirkan arus dahsyat keraguan dan kecurigaan. Mereka begitu menengah di antara jalan berlebihan dan keterbelakangan sehingga barangsiapa pergi mendahului harus kembali, dan yang tertinggal di belakang harus melangkah maju ke jalan tengah itu, supaya tetap berada di jalan Islam. Mereka mempunyai semua keutamaan yang memberikan keunggulan dalam hak kewalian dan imamah, dan tiada orang lain dalam ummah yang mempunyai hak sebagai pelindung dan wali. Itulah sebabnya Nabi me-maklumkan mereka sebagai para wali dan pelanjutnya.
Tentang wasiat dan kewalian, pensyarah ibn Abil Hadid Al-Mu'tazili menulis bahwa tidak mungkin ada keraguan tentang kekhalifahan Amirul Mukminin, tetapi kewalian tak dapat mencakup kekhalifahan dalam pemerintahan, walaupun mazhab Syi'ah menafsirkannya demikian. Kewalian itu bermakna kewalian dalam pengetahuan. Sekarang, sekiranya menurut dia kewalian diartikan kewalian dalam pengetahuan sekalipun, nampaknya ia tidak berhasil dalam mencapai tujuannya, karena sekalipun dengan penafsiarannya itu, hak untuk menggantikan Nabi tidak berpindah pada seseorang mana pun lainnya. Bilamana disepakati bahwa penge­tahuan adalah syarat yang paling hakiki bagi kekhalifahan, karena fungsi ter-penting dari khalifah Nabi ialah pelaksanaan keadilan, penyelesaian masalah hukum-hukum agama, menjelaskan hal-hal yang rumit, dan melaksanakan hukum-hukum agama. Apabila tugas-tugas ini dilepaskan dari khalifah Nabi maka ke-dudukannya akan merosot menjadi pemerintahan duniawi. la tak dapat dipandang sebagai pusat wewenang keagamaan. Oleh karena itu kita harus memisahkan wewenang pemerintahan dari kekhalifahan Nabi, atau menerima kewalian penge­tahuan Nabi untuk kesesuaian dengan kedudukan itu.
Interpretasi Ibn Abil Hadid dapat diterima, apabila Amirul Mukminin hanya mengucapkan kalimat ini saja. Tetapi, mengingat bahwa hal itu diucapkan segera setelah pengakuan terhadap Ali sebagai Khalifah, dan baru sesudah itu ada kalimat "hak itu telah kembali kepada pemiliknya", penafsirannya ini nampak tak beralasan. Malah, wasiat Nabi itu tak dapat berarti wasiat apa pun selain ke­khalifahan, dan kewalian bukan berarti kewalian dalam harta atau pengetahuan, karena bukan tempatnya untuk menyebutnya di sini. Kewalian itu harus berarti kewalian dalam hak kepemimpinan yang datangnya dari Allah; bukan sekadar atas dasar kekeluargaan tetapi atas dasar sifat-sifat kesempurnaan.

Bisikan naluri


Ulama Islam dari Ahli Sunnah maupun Syi'ah telah menegaskan bahwa Al-Qur'an tidak mengalami pengurangan ataupun penambahan. Untuk membuktikan kebenaran tersebut mereka mengajukan berbagai dalil. Sayangnya, lantaran penukilan sebagian riwayat palsu ke dalam kitab-kitab hadis kedua madzab itu, penafsiran yang keliru dan pemahaman yang salah terhadap sebagian riwayat yang muktabar, sebagian mereka menganggap atau malah meyakini bahwa sebagian ayat Al-Qur'an itu telah ghaib. Namun, selain adanya berbagai bukti sejarah yang akurat atas keutuhan Al-Qur'an dari berbagai perubahan, penambahan atau pengurangan, juga adanya dalil mukjizat yang menafikan ghaibnya sebagian ayat-ayat yang dapat merusak sistem bahasa Al-Qur'an, kita pun dapat membuktikan keutuhannya dari keghaiban satu ayat atau satu surat berdasarkan Al-Qur'an sendiri.
Setelah dapat dibuktikan bahwa seluruh kandungan Al-Qur'an yang ada sekarang ini adalah Kalamullah yang masih otentik, maka seluruh kandungan ayat-ayatnya—yang merupakan dalil wahyu yang paling kuat—pun menjadi bukti. Salah satu kesimpulan yang dapat diambil dari ayat-ayat Al-Qur'an ialah bahwa Allah SWT telah berjanji untuk menjaga kitab suci ini dari berbagai perubahan. Tidak seperti dengan kitab-kitab samawi yang lain; yang penjagaannya dibebankan ke atas umat manusia itu sendiri. Allah berfirman,

"Sungguh Kami telah menurunkan Adz-Dzikr, dan sung-guh Kami pula yang akan menjaganya." (QS. Al-Hijr: 9)
Ayat ini terdiri dari dua kalimat. Kalimat pertama, "Sungguh Kami telah menurunkan Adz-Dzikra", menekankan bahwa Al-Qur'an ini diturunkan oleh Allah SWT, dan di dalam penurunannya tidak mengalami perubahan apapun. Dan, kalimat kedua, "sungguh Kami pula yang akan menjaganya" kata "sungguh" (inna) diulang kembali, dan bentuk kalimatnya (haiat)—yang menunjukkan kontinuitas (istimrar)—menekankan bahwa Allah SWT benar-benar berjanji untuk menjaga Al-Qur'an dari berbagai distorsi (tahrif) sepanjang masa.
Namun begitu, perlu diperhatikan bahwa meskipun ayat ini menunjukkan tidak adanya penambahan pada Al-Qur'an, namun menjadikan ayat ini sebagai dalil untuk menafikan adanya tambahan adalah istidlal dauri (pembuktian berputar-putar tanpa henti), karena bisa juga ayat ini diasumsikan sebagai sebagai tambahan pada Al-Qur'an, maka itu menafikan asumsi tersebut berdasarkan ayat ini tidaklah benar. Karenanya, kita dapat menggugurkan asumsi penambahan itu melalui dalil yang membuktikan kemukjizatan Al-Qur'an. Setelah itu barulah kita dapat menggunakan ayat ini untuk membuktikan keutuhan Al-Qur'an dari hilangnya satu ayat atau satu surat penuh (dengan bentuk yang tidak mengakibatkan rusaknya kemukjizatan struktur bahasanya). Jadi, kita dapat memastikan keutuhan Al-Qur'an dari perubahan; penambahan maupun pengurangan, berdasarkan penjelasan komplikatif dari dalil akal dan dalil wahyu di atas ini.
Akhirnya, kami perlu menekankan bahwa terjaganya Al-Qur'an dari berbagai perubahan tidak berarti bahwa setiap kitab Al-Qur'an yang beredar sekarang ini dianggap terjaga pula sepenuhnya dari kesalahan tulis dan baca, tidak juga berarti bahwa Al-Qur'an tidak mengalami kesalahan penafsiran atau penyelwengan makna, atau ayat-ayat dan surat-suratnya telah disusun sesuai dengan runutan penurunannya. Jadi, maksud dari keterjagaan Al-Qur'an dari berbagai perubahan ialah bahwa kitab suci itu tetap utuh di tengah umat manusia sehingga setiap pencari kebenaran akan dapat menjumpai seluruh ayat-ayatnya seperti saat ia diturunkan, tanpa adanya penambahan atau pengurangan.
Dengan demikian, terjadinya kekurangan atau kesalahan cetak pada sebagian kitab Al-Qur'an, atau terdapat perbedaan cara baca, perbedaan urutan ayat-ayat dan surat-suratnya dengan urutan penurunannya, atau terjadi penyelewengan makna dan penafsiran yang beraneka-ragam, ini semua tidak menafikan terjaganya Al-Qur'an dari penyimpangan dan perubahan yang telah kami jelaskan.[]

al-Ma'ad itu benar

Dari bebarapa dialog dan kritik Al-Qur’an terhadap para pengingkar Ma'ad, dan dari metode jawabannya terhadap dugaan-dugaan mereka, tampak sejumlah keraguan di dalam benak mereka. Berikut ini akan kami paparkan keraguan-keraguan tersebut berikut jawaban-jawabannya.
1. Keraguan Mengembalikan yang Telah Tiada
Telah kami singgung bahwa Al-Qur’an telah memberikan jawaban kepada orang-orang yang menyatakan bahwa bagaimana manusia itu dapat dihidupkan kembali setelah tubuhnya hancur luluh. Inti jawaban Al-Qur’an yaitu bahwa hakikat manusia adalah ruhnya, bukan karena anggota tubuh manusia yang beserpihan di dalam tanah.
Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa motif utama orang-orang kafir dalam mengingkari Ma'ad ialah keraguan yang dalam Filsafat dikenal sebagai "Kemustahilan Mengembalikan yang telah Tiada" (Istihalatu i'adatil ma'dum). Yakni, mereka meyakini bahwa manusia itu adalah tubuh materi ini yang akan hancur setelah kematiannya. Dan jika ia dihidupkan kembali setelah kematian, ini berarti ia adalah manusia yang lain. Maka itu, mengembalikan yang telah tiada merupakan perkara yang mustahil, yang pada dasarnya dan secara substansial tidak akan terjadi.
Jawaban Al-Qur’an atas keraguan ini juga cukup jelas, bahwa hakikat setiap manusia adalah ruhnya. Artinya, Ma'ad itu bukanlah mengembalikan yang telah tiada, akan tetapi kembalinya ruh yang sudah ada.
2. Keraguan Ketakmungkinan Tubuh Dihidupkan Kembali
Keraguan pertama itu berkaitan dengan Ma’ad dari sisi kemungkinan terjadinya secara substansial. Adapun keraguan kedua ini berkaitan dengan kemungkinan terjadinya secara nyata. Artinya, sekalipun kembalinya ruh ke tubuh tidak mustahil secara logis dan asumsi kemungkinannya tidak melazimakan kontradiksi, namun kembalinya ruh tersebut secara aktual (bil fi’li) dan kejadian konkretnya tergantung pada potensi tubuh.
Kita melihat bahwa adanya kehidupan itu tergantung kepada syarat-syarat tertentu yang mesti terpenuhi secara bertahap. Misalnya, sperma itu harus menetap di dalam rahim dan keharusan terpenuhinya syarat-syarat yang memadai pertumbuhan dan perkembangannya agar ia menjadi janin yang sempurna secara berangsur sampai menjadi bentuk manusia. Akan tetapi, tubuh yang telah hancur luluh akan kehilangan potensinya untuk hidup kembali.
Jawaban atas keraguan ini ialah bahwa sistem kehidupan di dunia ini bukanlah satu-satunya sistem yang mungkin. Dan syarat-syarat yang kita ketahui melalui eksperimen bukanlah sebab-sebab yang terbatas (hanya itu saja). Buktinya adalah kejadian sebagian fenomena yang luar biasa di dalam kehidupan ini, seperti menghidupkan sebagian binatang atau manusia. Jawaban seperti ini dapat dirujuk ke beberapa fenomena luar biasa yang tersebut di dalam Al-Qur’an.
3. Keraguan terhadap Kemampuan Pelaku
Keraguan ketiga ialah bahwa di samping adanya kemungkinan secara substansial (imkan dzati) dan potensi objek (qobil), kemampuan pelaku merupakan syarat terjadinya setiap fenomena. Masalahnya, bagaimana kita dapat mengetahui bahwa Allah SWT itu memiliki kemampuan untuk menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati?
Keraguan lemah ini biasanya dilontarkan oleh orang-orang yang tidak memahami kekuasaan Allah yang nirbatas. Jawabannya adalah bahwa kekuasaan Allah SWT tidak terbatas dan berurusan dengan segala sesuatu yang mungkin (secara substansial) terjadi, sebagaimana kita perhatikan bahwa Allah telah menciptakan alam semesta yang mahaluas dan begitu mengagumkan ini. Allah SWT berfirman, “Apakah mereka tidak melihat sesungguhnya Allah—yang telah menciptakan langit dan bumi dan tidak merasa lelah dengan menciptakan itu semua—Mahakuasa untuk menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati. Ketahuilah sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Ahqaf: 33)
Di samping itu, menciptakan sesuatu yang baru tidak lebih sulit dibandingkan menciptakannya pertama kali, dan tidak membutuhkan kemampuan dan kekuasaan yang lebih besar. Bahkan dapat dikatakan bahwa menciptakan untuk yang kedua itu lebih mudah, karena Ma'ad hanyalah mengembalikan ruh yang telah ada. Allah SWT berfirman, “Mereka berkata siapakah yang akan mengembalikan kami?” Katakanlah, 'Ialah yang telah menciptakan kalian pertama kali. Kemudian mereka akan menundukkan kepalanya di hadapanmu.’” (QS. Al-Isra’: 51)
Di ayat lain, Allah SWT berfirman, “Dialah yang memulai penciptaan kemudian Dia mengembalikannya lagi, dan itu lebih ringan bagi-Nya.” (QS. Ar-Rum: 27)
4. Keraguan terhadap Ilmu Pelaku
Keraguan keempat ialah ketika Allah SWT hendak menghidupkan kembali manusia dan membalas perbuatan mereka, baik dengan pahala atau pun siksa, maka dari satu sisi Dia harus dapat membedakan antara tubuh-tubuh yang tidak terhitung jumlahnya agar Ia dapat mengembalikan ruh mereka ke tubuhnya masing-masing. Dari sisi lain, Ia pun harus mengingat seluruh perbuatan mereka, yang baik ataupun yang buruk, sehingga Dia memberi balasan pahala atau siksa sesuai dengan haknya masing-masing. Namun, bagaimana mungkin Allah SWT dapat membedakan dan mengidentifikasi jasad-jasad yang telah berubah menjadi tanah itu dan masing-masing bagiannya telah melebur dengan yang lainnya? Dan bagaimana mungkin Dia dapat mengingat secara tepat seluruh perbuatan setiap manusia sepanjang ribuan bahkan jutaan tahun untuk dilakukan perhitungan?
Keraguan ini biasanya dilontarkan oleh mereka yang tidak mengerti ketakterbatasan ilmu Allah SWT. Mereka menimbang ilmu Allah dengan ilmu mereka yang serbakurang dan serbaterbatas.
Jawaban atas keraguan ini ialah bahwa ilmu Allah SWT tidaklah terbatas. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Dan, Allah tidak pernah lupa akan segala apapun. Melalui dialog Fir’aun dan Nabi Musa as, Al-Qur’an menegaskan, “Bagaimana mereka yang hidup pada kurun waktu pertama?” Musa menjawab, ‘Sesungguhnya ilmu itu berada pada Tuhanku di dalam satu kitab. Tuhanku tidak sesat dan tidak pernah lupa.’” (QS.Thaha: 51)
Di ayat lain, Al-Qur’an memberikan jawaban terhadap dua keraguan terakhir sekaligus, "Katakanlah, yang telah menghidupkannya kembali itu adalah yang telah menciptakannya pertama kali dan Dia Mahatahu akan segala ciptaan-Nya." (QS.Yasin: 79)[]

Ya Abul Qasim

Nabi Saw bersabda: "Seandainya bumi tidak tinggal kecuali sehari, pasti Allah akan mengutus seorang lelaki yang namanya seperti namaku, akhlaknya seperti akhlakku, gelarnya Abu Abdillah dan orang-orang akan membaiatnya antara Rukun dan Maqam. Agama Allah akan dikembalikannya seperti semula dan dijadikan untuknya sejumlah penaklukan sampai tidak tinggal di atas permukaan bumi kecuali orang yang mengatakan 'La Ilaha Illa Allah.'
Lalu Salman al-Farisi berdiri dan bertanya:"Dari keturunanmu yang mana, ya Rasulullah?"
Beliau jawab:"Dari keturunan anakku ini." Lalu beliau memukul pundak al-Husain.16 Sebenarnya pandangan yang lebih kuat menurut Ahlussunah dan Syiah gelar beliau adalah Abul Qasim seperti gelar Nabi saw.

16..Al-Bayan karya asy-Syafi'i, hal. 129.

Emosi Dan Kehidupan


Tidak ada sesuatu yang lebih mengganggu dan menyakitkan jiwa seseorang daripada perasaan bahwa ia hidup di bawah bayang-bayang sebuah kekuasaan absolut yang amat kuat dan mencengkram segala sesuatu dalam kehidupannya, serta mengarahkannya ke mana saja sesuai dengan kehendaknya. Karena, seperti dikatakan orang, kemerdekaan adalah nikmat yang paling mahal harganya, sedangkan perasaan terjajah adalah rasa sakit yang paling memedihkan. Dengan begitu manusia merasa dirinya terinjak-terinjak dan kehendaknya tercabik-cabik oleh kekuatan absolut yang menjajahnya itu. Tak ubahnya seperti seekor domba yang ditarik oleh sang penggembala yang menguasai tidur, makan, hidup dan matinya. Hal ini akan menimbulkan perasaan bagai bara api yang menyala-nyala dalam lubuk hatinya serta rasa sakit yang tak terhingga, menyerupai penderitaan seseorang yang menyerah pasrah dalam cengkraman seekor singa yang garang dan buas, setelah menyadari bahwa tidak ada lagi jalan keselamatan baginya dari cengkeraman kuat yang sepenuhnya mengendalikan dirinya itu.
Sampai sejauh ini kita hanya membayangkan kekuatan yang berkuasa seperti ini dalam diri seorang manusia hebat atau binatang buas saja. Akan tetapi apabila kita membayangkannya sebagai suatu kekuatan gaib yang mahadahsyat yang berkuasa atas diri manusia dan menguasai dirinya dari balik alam gaib yang gelap gulita, maka sudah pasti keadaannya akan menjadi lebih parah lagi. Ketika itu segala impian untuk dapat selamat pasti akan pupus.
Demikianlah awal mula lahirnya pertanyaan yang membingungkan ini di benak setiap manusia, termasuk yang memiliki daya pencerapan yang paling minimum sekalipun. Benarkah segala peristiwa alam ini berjalan sesuai dengan perencanaan yang ketat, yang telah digariskan jauh sebelum terjadinya, tanpa adanya kemungkinan kegagalan atau pengecualian? Maujudkah kekuatan mutlak tersembunyi yang disebut qadha dan qadar (takdir), yang menguasai sepenuhnya segala peristiwa yang terjadi, termasuk manusia dan khasiat-khasiat (karakteristik-karakteristiknya) serta perbuatan-perbuatannya? Ataukah hanya berlawanan sama sekali dengan itu, yakni tidak ada sesuatu yang dapat diartikan sebagai pengaruh-menentukan masa lalu atas masa sekarang dan masa depan; sehingga manusia, sebenarnya, memiliki kebebasannya yang sempurna dalam membentuk segala gerak-lakunya dan menentukan nasibnya? Ataukah ada kemungkinan ketiga di antara kedua kemungkinan tadi, yang menggabungkan kepercayaan kepada takdir, sebagai kekuatan mutlak yang berkuasa atas segenap wujud alam semesta tanpa kecuali, dengan kepercayaan akan wujud alam semesta tanpa kecuali, dengan kepercayaan akan kebebasan manusia dalam segala tindakannya? Dan jika demikian itu keadaannya, bagaimanakah dapat dijelaskan?
Masalah qadha dan qadar (takdir) atau penentuan nasib, termasuk di antara masalah-masalah filosofis yang amat pelik dan rumit yang sejak abad pertama hijriah telah menjadi bahan pembahasan di kalangan para pemikir Muslim disebabkan alasan-alasan yang kami sebutkan kemudian. Berbagai aliran pemikiran (akidah) yang dikemukakan di bidang ini besar sekali peranannya dalam tercetusnya pertikaian serta timbulnya kelompok-kelompok di seluruh dunia Islam, yang selanjutnya menimbulkan dampak yang amat menakjubkan di sepanjang jangka waktu empat belas abad lamanya.

Kami orang2 Mukmin!


Amat banyak hadis sahih mengenai hal ini yang disalurkan melalui Al-'Itrah (keluarga suci Rasulullah SAWW). Inilah sebagian yang diriwayatkan pula oleh para ahli hadis Ahlus-Sunnah melalui saluran-saluran sanad mereka.
Sebagaimana yang tertera pada halaman 96, kitab Ash-Shawa'ig Al-Muhriqah karangan Ibn Hajar, Al-Hafizh Jamaluddin Az-Zarnadi meriwayatkan dari Ibn Abbas r.a.: Ketika Allah SWT menurunkan ayat,
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang takut kepada Tuhannya. (Al-Bayyinah: 7-8). Rasulullah SAWW berkata kepada Ali r.a.: "Mereka itu adalah kamu dan syi'ah (pendukung-pendukung)-mu. Pada Hari Kiamat kelak, kamu dan mereka akan datang dalam suasana ridha dan diridhai. Sedangkan musuh-musuhmu akan datang dalam keadaan gelisah dan terbelenggu."
Al-Hakim telah pula meriwayatkan dalam kitab Syawahid At-Tanzil, dari Ibn Abbas r.a.: "Ayat ini (Al-Bayyinah : 7-8) diturunkan berkenaan dengan Ahlul-Bayt." Begitu juga Ibn Hajar, pada Pasal I, Bab XI dari Ash-Shawa'iq, telah menggolongkannya dalam ayat-ayat yang diturunkan berkenaan dengan mereka.
Dalam kitabnya, Syawahid At-Tanzil pula, ia (Al-Hakim) telah meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib: Pada detik-detik terakhir ketika Rasulullah SAWW hendak mengembuskan napasnya yang terakhir, seraya bersandar di dadaku, beliau berkata, "Hai Ali, tidakkah kau dengar firman Allah SWT, Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh itu adalah sebaik-baik makhluk (Al-Bayyinah: 7)? Mereka itu adalah syi'ah (pendukung-pendukung)-mu. Kelak, tempat janji pertemuanku dengan kau dan mereka sekalian adalah telaga Al-Haudh. Mereka akan dipanggil dalam keadaan putih bersih dan bersinar wajah-wajahnya."
Ad-Dailami merawikan, seperti termaktub pada halaman 96, kitab Ash-Shawa'iq Al-Muhriqah, bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda: "Hai Ali, sesungguhnya Allah SWT telah mengampuni engkau, anak-anakmu, keturunanmu, keluargamu, syi'ah (pengikut-pengikut)-mu dan para pencinta syi'ah-mu."
Ath-Thabrani dan banyak ahli hadis lainnya meriwayatkan bahwa pada hari "peristiwa Basrah" dihadapkan kepada Ali r.a. sejumlah emas dan perak (hasil rampasan perang). Ali berkata: "Hai 'kuning dan putih', perdayakanlah orang-orang selain aku. Perdayakan orang-orang Syam jika mereka memperolehmu, kelak!" Ucapannya ini membuat gelisah banyak orang dari pengikutnya. *) Ketika hal ini disampaikan kepada Ali r.a., ia memanggil mereka dan berkata: "Sesungguhnya kekasihku, Rasulullah SAWW, pernah bersabda: 'Hai Ali, sesungguhnya kamu dan syi'ah (para pengikut)-mu akan menghadap Allah SWT dalam keadaan ridha dan diridhai. Sebaliknya, musuh-musuhmu akan menghadap-Nya dalam keadaan gelisah dan terbelenggu lehemya.' (Ketnudian Ali mengangkat tangannya dan menggenggamkannya di lehernya seolah-olah belenggu yang membuat lehernya tertengadah ke atas).
Ibn Hajar telah menukil hadis ini di halaman 92, dalam Ash-Shawa'iq-nya., seraya mengomentarinya dengan ucapan-ucapan yang amat menggelikan sedemikian hingga membuat seorang ibu yang kematian anaknya tertawa. Kami hanya mengambil apa yang diriwayatkannya dan berpaling dari komentarnya itu.**)
Ath-Thabrani meriwayatkan, dalam Ash-Shawa'iq, halaman 96, bahwa Rasulullah bersabda kepada Ali: "Empat orang pertama yang memasuki surga adalah aku, engkau, Hasan, Husain, dan kemudian anak keturunan kita di belakang serta syi'ah (pengikut-pengikut) kita di samping kanan dan kiri kita." Ahmad bin Hanbal dalam Manaqib-nya — seperti tercantum dalam Ash-Shawa'iq, halaman 96 — juga telah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW bersabda kepada Ali r.a.: "Tidakkah engkau merasa puas bahwasanya engkau dan aku berada di surga, sedangkan Hasan dan Husain serta syi'ah (pendukung-pendukung) kita berada di sisi kanan dan kiri kita."
Al-Hakim merawikan — sebagaimana yang tertera dalam kitab tafsir Majma' Al-Bayan tentang ayat "al-mawaddah fil-qurba" (kasih sayang terhadap sanak keluarga Rasulullah SAWW — Asy-Syura: 23), bahwa Abul-Bahili berkata, Rasulullah SAWW pernah bersabda: "Sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan aku dan Ali dari satu pohon. Maka aku adalah pokoknya, Ali cabangnya, Fathimah serbuk sarinya, Al-Hasan dan Al-Husain buahnya dan para syi'ah (pengikut) kita adalah dedaunannya. Oleh sebab itu barangsiapa bergantung pada salah satu dahannya, ia pasti selamat, dan barangsiapa menyimpang darinya akan terjatuh. Meskipun seorang hamba menyembah Allah SWT sepanjang seribu tahun, kemudian seribu tahun lagi sehingga menjadi seperti tempat air dari kulit yang sudah keriput, sementara ia tidak mencintai kita, maka Allah SWT akan mengempaskannya di atas batang hidungnya ke dalam neraka." (Kemudian beliau SAWW membaca firman Allah):
Katakanlah: "Tiada apa pun yang kuminta dari kamu atas seruanku ini selain kasih sayang kepada kerabatku." (Asy-Syura: 23).

Imam untuk seluruh manusia


Setelah menguji kesabaran Nabi Ibrahim dalam menjalani kehidupannya ,seperti hilangnya harta dan istri ( dan beliau berhasil melewati semuanya), Allah swt mengangkatnya sebagai imam dan pemimpin umat manusia. Titah Ilahi yang direkam dalam al-Qur’an berkenaan dengannya adalah:


“ Dan ingatlah, ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya.Allah berfirman, Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. “ (al-Baqarah: 124)


Kalimat “”Aku mengangkatmu”, menunjukkan bahwa pengangkatan seorang imam berada di tangan Allah Swt. Ini sekaligus mengisyaratkan bahwa seorang imam harus mengetahui seluruh ketetapan dan perintah Allah yang harus ditegakkan di muka bumi ini.


Seorang imam harus mengetahui hasil akhir dari sistem yang dijalankannya. Dia tidak boleh mencari kepentingannya sendiri serta dipengaruhi factor-faktor eksternal (lingkungan, masyarakat, dan sebagainya) dan internal (hawa nafsu) dirinya.

Dia juga harus memiliki nilai-nilai keitamaan manusiawi dan kesalehan yang paling luhur. Jelas, semua itu takkan dijumpai pada orang-orang kebanyakan


Orang-orang lemah,bodoh, dan tersesat harus mencari bimbingan seorang imam. Namun apa yang akan terjadi jika imam itu sendiri adalah orang bodoh,tersesat, dan tidak memiliki keyakinan, angkuh, penakut, atau kikir?


Untuk alasan inilah kepatuhan orang-orang terhadap imam yang dapat berbuat keliru menjadi sebentuk kekejian dan penghinaan terhadap kemanusiaan. Begitu pula dengan mempercayakan keimamahan pada orang-orang bodoh yang tidak mengetahui apa-apa yang akan terjadi, serta tidak memiliki kecerdasan dan pandangan yang jauh.


Ringkasnya, setelah mengalami pengalaman pahit semacam itu, bagaimana mungkin kita menyerahkan persoalan penunjuk-kan seorang imam ke tangan masyarakat? Ini adalah salah satu dalil tentang keyakinan kita yang berkenaan dengan masalah keimamahan : bahwa sebagaimana nabi, seorang imam juga ditunjuk oleh Allah Swt.

Boleh ijtihad sunnah Allah?


Sunnatullah (hukum cipta Allah) berlaku bahwa setiap fenomena itu terjadi melalui sebab-sebab tertentu. Al-Qur'an menjelaskan, "Engkau tidak akan mendapatkan bagi sunah Allah itu pergantian dan juga engkau tidak akan mendapatkan bagi sunah Allah itu perubahan." (QS. Al-Isra’: 77)[1]
Namun, kejadian luar biasa itu merupakan perubahan dan pergantian pada sunnahtullah dinafikan oleh ayat-ayat tersebut.
Jawab: keraguan ini sama dengan keraguan pertama dengan sedikit perbedaan, bahwa keraguan pertama berdasarkan argumentasi akal, sedangkan keraguan kedua bersandar pada ayat-ayat Al-Qur'an.
Jelas bahwa membatasi sebab-sebab berbagai kejadian hanya pada sebab-sebab wajar sebagai bagian dari sunnatullah yang tidak mungkin berubah adalah pandangan yang tidak berdasar. Sama halnya dengan pengakuan seseorang yang membatasi sebab panas hanya pada api sebagai bagian dari sunnatullah yang tidak mungkin berubah. Terhadap pandangan semacam ini perlu ditegaskan bahwa beragamnya sebab bagi berbagai akibat, dan adanya sebab-sebab luar biasa yang menempati sebab-sebab yang wajar merupakan kejadian yang selalu terjadi di alam ini, dan dianggap sebagai salah satu sunnatullah.Sedangkan membatasi sebab-sebab hanya pada sebab-sebab biasa dan wajar merupakan perubahan atas sunnatullah itu sendiri, yang dinafikan oleh ayat-ayat tersebut.
Alhasil, menafsirkan ayat-ayat yang menafikan perubahan dan pergantian dalam sunnatullah sebegitu rupa sehingga tidak ada sesuatu lain yang menempati posisi dan peran sebab-sebab biasa dan bahwa hal itu dianggap sebagai sunnatullah yang tidak berubah, adalah penafsiran yang keliru. Karena, banyak sekali ayat-ayat yang menunjukkan terjadinya mukjizat dan peristiwa-peristiwa luar biasa sebagai dalil yang kuat atas kesalahan penafsiran tersebut.
Dengan demikian, kita perlu mencari penafsiran yang benar dalam kitab-kitab tafsir. Pada kesempatan ini kami akan menyinggungnya secara ringkas. Bahwa ayat-ayat Al-Qur'an tersebut dimaksudkan untuk menafikan penceraian akibat dari sebabnya, tidak menafikan berbilang dan beragamnya sebab, tidak pula menafikan sebab yang tak wajar yang menempati sebab yang wajar. Bahkan dapat dikatakan bahwa kadar minimal yang bisa ditarik dari ayat-ayat tersebut ialah adanya pengaruh dari sebab-sebab yang tak wajar.

Kenapa kita berwudzuk, bersolat dan berpuasa?


Diriwayatkan dalam al-'Ilal dan al-Amali dengan sanad sampai kepada al-Hassan bin Ali as, dia berkata:


Suatu waktu sekelompok orang Yahudi mendatangi Rasulullah saw seraya menanyakan kepada beliau tentang beberapa masalah. Di antaranya, mereka berkata, "Beritahukanlah kepada kami dari Allah, untuk apakah Dia menentukan lima waktu solat atas umatmu di malam dan siang hari?"


Rasulullah saw menjawab, (sampai pada jawaban beliau), "... solat Ashar adalah waktu yang di saat Adam memakan buah pohon (yang dia telah dilarang Allah untuk mendekatinya) itu, maka Allah mengeluarkannya dari surga, lalu Allah memerintahkan anak keturunan Adam untuk mengerjakan solat ini (Ashar) sampai Hari Kiamat, dan Dia memilihkan salat Ashar ini untuk umatku, maka solat Ashar adalah di antara solat yang paling disukai di sisi Allah 'Azza wa Jalla', dan Dia memerintahkan kepadaku untuk menjaganya di antara solat-solat itu.


"Adapon solat Maghrib, adalah waktu yang di dalamnya Allah menerima tobat Adam, dan jarak antara dia memakan buah pohon itu dan Allah menerima tobatnya adalah tiga ratus tahun dari hari-hari dunia; sedangkan hari-hari akhirat, seharinya adalah sama dengan seribu tahun, dari waktu solat Ashar hingga solat Isya. Oleh kerana itu, Adam mengerjakan solat Maghrib tiga rakaat, iaitu satu rakaat untuk dosanya, satu rakaat untuk dosa Hawa, dan satu rakaat untuk tobatnya. Oleh kerana itu pula, Allah 'Azza wa Jalla mewajibkan solat tiga rakaat ini (Maghrib) atas umatku."


Kemudian orang Yahudi itu berkata, "Beritahukanlah kepadaku, untuk apakah dalam berwudhu harus mensucikan anggota-anggota tubuh yang empat ini, padahal ia adalah tempat-tempat yang paling bersih di tubuh?"


Nabi saw menjawab, "Sebab, ketika setan membisikkan pikiran jahat kepada Adam, lalu Adam mendekati pohon itu dan memandanginya, maka hilanglah air wajahnya. Kemudian dia berdiri, dan itu adalah awal kaki yang berjalan kepada dosa, kemudian dia mengambil darinya dengan tangannya, kemudian dia mengusapnya, kemudian dia memakannya, maka beterbanganlah semua pakaian dari tubuhnya, kemudian dia meletakkan tangannya pada kepalanya seraya menangis. maka ketika Allah menerima tobatnya, Allah mewajibkan atasnya dan atas anak keturunannya berwudhu pada anggota-anggota tubuh yang empat ini. Allah memerintahkannya membasuh wajah karena dia (Adam) telah memandang pohon itu; memerintahkan membasuh kedua lengan bawah dari siku kerana dia telah mengambil darinya; dan Dia memerintahkannya untuk mengusap kedua kaki karena dia telah berjalan kepada dosa."


Kemudian orang Yahudi itu berkata,"Beritahukanlah kepadaku, untuk apakah Allah mewajibkan puasa atas umatmu pada siang hari selama tiga puluh hari dan mewajibkan atas Adam lebih banyak dari itu?"


Nabi saw menjawab, "Sebab, ketika Adam memakan buah pohon itu, sisa makanan itu tinggal di dalam perutnya selama tiga puluh hari, dan allah mewajibkan atas anak keturunannya tiga puluh hari lapar dan dahaga, sedangkan yang mereka makan adalah karunia dari Allah 'Azza wa Jalla kepada mereka. Sebagaimana yang diwajibkan pada Adam, allah mewajibkan atas umatku juga."


Kemudian rasulullah saw membaca (ayat ini): "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertakwa, iaitu dalam beberapa hari yang tertentu."52


Al-Amali, karya ash-Shaduq, hal. 159-162, dan Ilal asy-Syara'i, jil. 2, hal. 32, bab 36.

Ayat tersebut adalah dari surah al-Baqarah: 183-184.

Malaikat Wahyu


Setelah terbukti perlunya wahyu sebagai sarana alternatif untuk memperoleh pengetahuan yang diperlukankan manusia demi menutupi kekurangan-kekurangan indra dan akal mereka, ada masalah berikutnya yang perlu dibahas di sini. Yaitu, mengingat bahwa manusia biasa tidak mungkin dapat memanfaatkan sarana pengetahuan ini secara langsung dan tidak memiliki potensi untuk menerima wahyu Ilahi [1], oleh karena itu risalah Ilahiyah harus disampaikan kepada mereka melalui para nabi.Pertanyaannya, Apakah yang menjamin keutuhan risalah ini? Bagaimana kita dapat mempercayai bahwa nabi telah menerima dan menyampaikan wahyu Ilahi kepada umat manusia secara utuh?

Jika terdapat perantara antara Allah Swt dan nabi, yaitu Malaikat Jibril, lalu bagaimana kita bisa percaya bahwa Malaikat itu menyam-paikan risalah tersebut secara utuh pula?Pertanyaan-pertanyaan di atas muncul karena wahyu itu hanya bisa berperan untuk menutupi berbagai kekurangan pengetahuan manusia apabila -semenjak diturunkan hingga disampaikannya kepada manusia- terjaga dari penyimpangan, kesamaran, secara sengaja ataupun tidak.Bila tidak demikian, maka dengan adanya kemungkinan kelalaian dan kekhilafan pada satu atau sejumlah perantara, atau adanya perubahan yang disengaja dalam kandungan wahyu, akan timbul duga-an dalam benak manusia akan kemungkinan kecacatan dan kerancuan pada risalah yang sampai kepada mereka, dan akan menggoyahkan kepercayaan mereka terhadap risalah itu. Maka itu, dengan cara apakah kita dapat meyakini sampainya wahyu Ilahi kepada umat manusia secara utuh dan selamat dari penyelewengan dan kesalahan?

Jelas apabila hakikat wahyu itu tidak diketahui oleh manusia, dan mereka tidak memiliki potensi untuk menerima wahyu itu, maka mereka tidak mempunyai jalan untuk mengawasi dan meneliti kebenaran perantara-perantara itu. Mereka baru bisa memahami adanya kesalahan dalam wahyu bila ia mengandung isi yang bertentangan dengan hukum pasti akal.Misalnya, apabila ada seseorang yang mengaku bahwa dia diberikan wahyu oleh Allah Swt. yang menyatakan bahwa dua hal yang kontradiksi itu mungkin atau pasti terjadi, atau ada seseorang yang mengaku (na’udzu billa) bahwa dzat Allah Swt itu tersusun, atau berbilang, atau hancur, atau hilang.

Pada kondisi seperti ini, kita bisa membantah dan membuk-tikan kebatilan pengakuan tersebut melalui penilaian akal yang pasti (qat’i).Akan tetapi, kebutuhan utama kepada wahyu itu terdapat pada masalah-masalah yang akal manusia tidak menemukan jalan untuk membuktikan atau menafi-kannya, juga tidak mampu menilai kebenaran atau kesalahan risalah tersebut. Dalam kondisi semacam ini, dengan jalan apakah kita dapat menetapkan kebenaran kandungan wahyu dan keterjagaannya dari pengaburan dan penyelewengan yang disengaja atau kelalaian para perantara, yaitu malaikat Jibril dan para nabi As?

Jawaban atas pertanyaan di atas ini ialah bahwa sebagai-mana halnya akal -dengan memperhatikan Hikmah Ilahiyah pada kajian 2 tentang masalah kenabian ini- mengetahui bahwa ada jalan lain untuk mengetahui hakikat dan cara hidup manusia, meskipun ia tidak mengetahui secara pasti hakikat jalan itu, dia juga memahami bahwa Hikmah Ilahiyah menuntut agar wahyu Allah terlindung dari penyimpangan hingga berada ke hadapan manusia tanpa terjadi pengaburan. Karena bila tidak demikian, akan terjadi pertentangan di dalam tujuan-Nya. Dengan kata lain, setelah diketahui bahwa risalah Ilahi itu harus sampai kepada umat manusia melalui seorang atau beberapa perantara sehingga tercipta kondisi yang cukup untuk kesempurnaan umat manusia dan terealisasinya tujuan Ilahi dari penciptaan manusia terebut, maka -dengan mengacu pada sifat-sifat kesempurnaan Ilahi- akan dapat dibuktikan pula bahwa risalah itu harus terjaga utuh dari penyelewengan dan kekhilafan, yang disengaja ataupun tidak. Karena jika Allah Swt. tidak menghendaki sampainya risalah kepada umat manusia secara utuh, ini bertentangan dengan Hikmah Ilahi-yah, dan kehendak-Nya yang bijaksana pun menafikan asumsi ini.Dan seandainya Allah Swt tidak mengetahui dengan apa atau melalui siapa risalah itu akan disampaikan secara utuh kepada hamba-hamba-Nya, ini bertentangan dengan ilmu-Nya yang tak terbatas.Dan jika Dia tidak kuasa untuk memilih para pengemban wahyu yang layak dan melindungi mereka dari sentuhan tangan-tangan kotor dan setan-setan, ini tidak sesuai dengan kekuasaan-Nya yang tidak terbatas.

Maka, dengan bukti kemahatahuan Allah Swt, tidak ada alasan bagi kita untuk memberi kemungkinan bahwa Dia memilih pembawa wahyu yang tidak Dia ketahui ketulusan dan amanatnya [2].

Dan dengan bukti kemahakuasaan Allah Swt, kita tidak mungkin menduga bahwa Allah tidak mampu menjaga wahyu-Nya dari campur tangan setan, orang-orang jahat, dan dari kelalaian dan kelupaan pada diri pembawa wahyu-Nya[3].

Dan dengan adanya Hikmah Ilahiyah, tidak mungkin bahwa Allah itu tidak berkehendak untuk menjaga risalah-Nya dari berbagai kesalahan dan kelalaian[4].

Oleh karena itu ilmu, kekuasaan dan hikmah Allah Swt menuntut risa-lah itu agar sampai kepada hamba-hamba-Nya secara utuh.Dengan penjelasan rasional inilah kita dapat menetapkan terjaganya wahyu dari berbagai kecacatan. Penjelasan ini pula dapat membuktikan keterjagaan Malaikat Wahyu dan para nabi pada tahap menerima wahyu dan kemaksuman mereka dari pengkhianatan yang disengaja, atau dari kelalaian dan kelupaan pada tahap menyampaikan wahyu.

Dari uraian di atas jelaslah bagi kita sebab penekanan Al-Qur’an atas sifat amanat para pembawa wahyu dan para nabi serta kemampuan mereka untuk menjaga amanat Ilahiyah dan menolak berbagai pengaruh setan. Secara umum, tampak jelas apa yang telah kami singgung mengenai penegasan Al-Qur’an atas terpeliharanya wahyu dan para penjaga wahyu, sehingga wahyu tersebut sampai kepada umat manusia secara utuh.

Pembahasan Lain Ihwal Kemaksuman Sesungguhnya kemaksuman (ishmah) pada malaikat dan para nabi yang telah kami buktikan berdasarkan argumen di atas, khusus pada tahap penerimaan wahyu dan penyam-paiannya. Namun ada tahap kemaksuman lain yang tidak dapat dibuktikan dengan argumen tersebut. Hal ini dapat dibagi kepada tiga bagian. Pertama, kemaksuman para malai-kat. Kedua, kemaksuman para nabi. Ketiga, kemaksuman sebagian orang seperti: para imam yang suci, atau seperti Fatimah As dan Maryam As.

Selain tentang kemaksuman para malaikat pada tahap penerimaan dan penyampaian wahyu, kita akan membahas dua persoalan. Pertama, kemaksuman Malaikat Wahyu di luar tugas sebagai penerima dan penyampai wahyu. Kedua, kemak-suman para malaikat selain Malaikat Wahyu, seperti malaikat-malaikat yang dipercaya untuk mengatur rizki, menulis amal manusia, mencabut ruh dan tugas-tugas yang lainnya.

Tentang kemaksuman para nabi yang tidak berhubungan dengan risalah mereka, kita akan membahas dua masalah. Pertama, kemaksuman para nabi dari dosa dan maksiat yang disengaja. Kedua, kemaksuman mereka dari kelalaian dan kelupaan. Dua masalah ini juga akan kita bahas sehubungan dengan orang-orang selain para nabi.Adapun masalah-masalah yang berkaitan dengan para malaikat pada selain tahap penerimaan wahyu dan penyam-paiannya hanya dapat kita bahas dengan argumentasi akal apabila kita telah mengenal hakekat malaikat itu sendiri.

Namun, mengenal hakekat dan esensi malaikat, selain tidak mudah, juga tidak sesuai dengan pembahasan di sini.Oleh karena itu, kami hanya cukup menyebutkan dua ayat yang menunjukkan kemaksuman malaikat:


“Mereka (para malailkat) adalah hamba-hamba yang mulia yang tidak mendahului-Nya dengan ucapan dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya.” (Qs. Anbiya [21]: 27)


“Sesungguhnya mereka (para malaikat) tidak bermaksiat kepada Allah terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka dan mereka senantiasa melaksanakan apa yang diperintahkan. (Qs. At-Tahrim [66]: 6)


Dua ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa para malaikat itu adalah hamba Allah yang mulia yang tidak melakukan selain perintah Allah, dan tidak akan melanggar perintah-Nya tersebut. Ya, masih tersisa pertanyaan, yaitu apakah ayat-ayat ini mencakup seluruh para malaikat?


Adapun pembahasan kemaksuman sebagian individu selain para nabi, maka hal itu hanya sesuai dengan pembahasan kemaksuman. Maka itu, di sini kita hanya akan membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan kemaksuman para nabi secara khusus. Walaupun sebagian masalah tidak mungkin untuk dipecahkan melainkan dengan dalil-dalil wahyu. Dan masalah-masalah ini dapat dibahas setelah memastikan validitas Al-Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi, demi menjaga konsistensi di antara tema-tema masalah tersebut, kita akan membahasnya pada bagian ini.

Adapun validitas Al-Qur’an dan Sunnah, kita terima saja sebagai postulat yang akan kita bahas pada saatnya.Kemaksuman para Nabi terdapat ikhtilaf di antara mazhab-mazhab Islam tentang sejauh mana kesucian para nabi dari dosa. Syi’ah Imamiyah percaya bahwa sejak dilahirkan hingga wafat, para nabi itu terjaga dari segala dosa dan maksiat, baik yang kecil atau yang besar, yang disengaja atau tidak.

Ada yang berpendapat bahwa para nabi itu hanya terjaga dari dosa-dosa besar saja.Ada madzhab yang meyakini para nabi itu terjaga dari dosa sejak masa akil balig. Sebagian yang lain mengatakan sejak masa kenabian. Sebagian dari Madzhab Ahlusunnah seperti Al-Khasyawiyah dan sebagian dari Ahlul Hadits mengingkari kemaksuman para nabi, sama sekali.

Menurut mereka, mungkin saja para nabi melakukan dosa dengan sengaja, bahkan pada masa kenabian mereka sekalipun.Sebelum kami membuktikan kemaksuman para Nabi, perlu kami jelaskan sebagian poin-poin penting berikut ini:Pertama, maksud dari kemaksuman para nabi atau selain mereka, bukan sekedar tidak melakukan dosa. Karena bisa jadi seorang manusia biasa tidak melakukan maksiat sepan-jang usianya, khususnya apabila orang itu berusia pendek.


Akan tetapi yang kita maksud dengan kemaksuman para nabi di sini, adalah adanya malakah nafsaniyah (karakter inheren) yang kuat yang mencegah dia dari berbuat dosa dan maksiat, sekalipun dalam kondisi yang sulit. Malakah ini dicapai de-ngan pengetahuannya yang sempurna dan terus menerus terhadap keburukan perbuatan dosa, dan dengan kehendak serta keinginan yang kuat untuk mengen-dalikan hawa-nafsu. Karena malakah semacam ini tidak mungkin dapat terwujud kecuali dengan bantuan dan inayahAllah Swt secara khusus, maka pelakunya diidentikkan dengan-Nya.

Kemaksuman me-reka bukan berarti bahwa Allah memaksa mereka untuk meninggalkan dosa dan mencabut kebebasan kehendak dan usaha mereka. Kemaksuman sebagian manusia sempurna seperti para nabi dan imam juga bisa dinisbahkan kepada Allah dengan makna yang lain, yaitu bahwa Dialah yang menjamin kemaksuman mereka.

Kedua, kemaksuman seseorang itu menuntutnya untuk meninggalkan berbagai perbuatan yang dilarang atasnya, seperti perbuatan maksiat yang diharamkan di dalam seluruh syariat dan perbuatan yang dilarang dalam syariat yang ia ikuti. Dengan demikian tidak terdapat kontradiksi antara kemaksuman para nabi dengan mengamalkan sebagian perbuatan yang dibolehkan dalam syariatnya untuk pribadi mereka secara khusus, sekali pun itu diharamkan dalam syariat-syariat yang sebelumnya atau akan diharamkan pada ajaran yang akan datang.

Ketiga, maksud dari maksiat yang seorang maksum itu tersucikan darinya ialah perbuatan yang “haram” dalam istilah Fiqih, atau meninggalkan perbuatan yang “wajib” menurut istilah Fiqih. Adapun kata maksiat dan semacamnya, yaitu adz-dzanbu (dosa), terkadang digunakan untuk hal-hal yang lebih luas daripada makna maksiat dan dosa, seperti bisa juga digunakan untuk mengartikan tarkul aula (meninggalkan yang lebih utama). Meninggalkan yang lebih utama tidaklah mena-fikan kemaksuman dari diri mereka.[]

_______________________________________________________________

1. Tentang hal ini Allah swt. berfirman,” Allah tidak akan menampakkan hal ghaib kepada kalian, tetapi Ia memilih utusan-utusan-Nya dengan kehendak-Nya.“ (Qs. Ali Imran [3]:179).

2. Dalam al-Qur’an disebutkan, "Allah lebih mengetahui kepada siapa Dia menyerahkan risalah-Nya." (Qs. Al-An`am [6] :124)

3. “Allah Maha Mengetahui hal yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan hal gaib kepada siapapun. Kecuali kepada rasul yang Dia ridahi. Sesungguhnya Dia menciptakan para penjaga di depan dan belakangnya. Supaya Dia mengetahui bahwa rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah Tuhan mereka. Allah mengetahui apa yang ada dalam mereka dan menghitung segala sesuatu.“ (Qs. al-Jin [72]: 26-27).

4. “Supaya orang binasa atau hidup dengan keterangan yang nyata“ (Qs. al-Anfal [8]: 42)

Antara Muhammad dan Ibrahim


Segera Yahudi itu menimpali, “Lihatlah Nabi Ibrahim As, karena dia telah menge­tahui Allah SWT dengan perenungan (i’tibar). Pembuktiannya telah meliputi keimanan ter­hadap-Nya.”
Ali berkata, “Ya benar. Nabi Muhammad Saw telah diberi sesuatu yang lebih dari itu. Beliau telah mengenal Allah Swt dengan i’tibar sebagaimana Nabi Ibrahim As. Namun, Nabi Ibrahim As mengenal Allah da­lam usia lima belas tahun sementara Nabi Saw mengenal-Nya semenjak usia tujuh tahun. Per­nah sejumlah pedagang Nasrani datang. Mereka menurunkan dagangan mereka di antara bukit Shafa dan Marwa.’ Sebagian dari mereka melihatnya, Muhammad Saw lalu mereka menge­tahui sifat, karakter, dan berita akan kebang­kitannya sebagai nabi dan mereka mengetahui beberapa mukjizatnya.
Para pedagang Nasrani itu bertanya kepada Muhammad Saw “Wahai bocah, siapa na­mamu?” Beliau menjawab, “Muhammad.” Me­reka bertanya, “Siapa nama ayahmu?” Beliau menjawab, “Abdullah.” Mereka bertanya, “Apa nama ini (mereka bertanya sambil menunjuk bumi)?” Beliau menjawab, “Bumi.”
Mereka bertanya, “Apa nama itu (mereka bertanya sambil menunjuk langit)?” Beliau men­jawab, “Langit.” Mereka bertanya, “Siapa yang menciptakan bumi dan langit?” Beliau menjawab, “Allah.” Lalu Muhammad Saw menyen­tak mereka, “Apakah kalian meragukanku ten­tang Allah Swt? Celaka kamu, wahai Yahu­di.”
Muhammad telah mengetahui Allah dengan i’tibar pada saat kaumnya kufur, bersumpah dan menyembah patung-patung, tetapi beliau berkata, “Tiada Tuhan selain Allah.”
Dinukil dari Musa bin Ja’far, dari ayahnya Ja’far Shadiq, dari ayah-ayahnya, dari al-Husain bin Ali bin Abi Thalib, dikatakan bahwa seorang Yahudi dari Syam pemah membaca Taurat, Zabur, Injil dan kitab-­kitab para nabi As, di samping itu ia juga banyak mengetahui argumentasi mereka. Suatu hari orang ini datang ke sebuah majelis para sahabat Rasulullah Saw di antara mereka ada Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas dan Abu Ma’bad al-Juhani.
“Wahai umat Muhammad, kalian tidak tinggalkan satu derajat atau satu keistimewaan yang ada pada seorang nabi melainkan kalian berikan pula pada nabi kalian,” ujarnya. Lalu Yahudi itu bertanya, “Apakah kalian akan men­jawab pertanyaan-pertanyaanku ini?”
“Benar,” jawab Ali “Tidaklah Allah SWT memberikan suatu derajat dan keis­timewaan kepada seorang nabi atau rasul me­lainkan Allah berikan juga semuanya kepada Nabi Muhammad Saw, bahkan Dia melebih­kannya atas para nabi berlipat ganda.”
“Apakah Anda siap menjawab pertanyaan­ku?” tanyanya.
Ali menjawab, ‘Ya.’ Akan aku sebut di hadapanmu sekarang juga tentang keistimewaan Muhammad sehingga kaum Muslimin bersorak ceria dan orang-orang ragu-ragu tidak akan menyangsikannya lagi. Dan Rasulullah Saw pada saat menyebutkan keistimewaan dirinya beliau selalu berkata, “tidak bermaksud berbangga” (wa la fakhr).” Dan aku akan menyebutkan keistimewaan-keistimewaan beliau tanpa menjatuhkan dan mengurangi kedudukan para nabi As. Namun, sekedar untuk mensyukuri Allah Swt atas anugerah yang Dia berikan kepada Muhammad seperti yang diberikan kepada para nabi bahkan Allah Swt melebihkan beliau.”
Segera Yahudi itu menimpali, “Lihatlah Nabi Ibrahim As, karena dia telah menge­tahui Allah SWT dengan perenungan (i’tibar). Pembuktiannya telah meliputi keimanan ter­hadap-Nya.”
Ali berkata, “Ya benar. Nabi Muhammad Saw telah diberi sesuatu yang lebih dari itu. Beliau telah mengenal Allah Swt dengan i’tibar sebagaimana Nabi Ibrahim As. Namun, Nabi Ibrahim As mengenal Allah da­lam usia lima belas tahun sementara Nabi Saw mengenal-Nya semenjak usia tujuh tahun. Per­nah sejumlah pedagang Nasrani datang. Mereka menurunkan dagangan mereka di antara bukit Shafa dan Marwa.’ Sebagian dari mereka melihatnya, Muhammad Saw lalu mereka menge­tahui sifat, karakter, dan berita akan kebang­kitannya sebagai nabi dan mereka mengetahui beberapa mukjizatnya.
Para pedagang Nasrani itu bertanya kepada Muhammad Saw “Wahai bocah, siapa na­mamu?” Beliau menjawab, “Muhammad.” Me­reka bertanya, “Siapa nama ayahmu?” Beliau menjawab, “Abdullah.” Mereka bertanya, “Apa nama ini (mereka bertanya sambil menunjuk bumi)?” Beliau menjawab, “Bumi.”
Mereka bertanya, “Apa nama itu (mereka bertanya sambil menunjuk langit)?” Beliau men­jawab, “Langit.” Mereka bertanya, “Siapa yang menciptakan bumi dan langit?” Beliau menjawab, “Allah.” Lalu Muhammad Saw menyen­tak mereka, “Apakah kalian meragukanku ten­tang Allah Swt? Celaka kamu, wahai Yahu­di.”
Beliau telah mengetahui Allah dengan i’tibar pada saat kaumnya kufur, bersumpah clan menyembah patung-patung, tetapi beliau berkata, “Tiada Tuhan selain Allah.”
Orang Yahudi berkata, “Nabi Ibrahim As telah terhijabi dari mata Namrud sebanyak tiga kali.”
Ali berkata, “Ya benar. Namun Nabi Muhammad Saw telah terhijabi dari mata orang-orang yang hendak membunuhnya seba­nyak lima kali. Sama tiga jumlahnya dengan hijab yang dipasang untuk Namrud dan bah­kan lebih dua.
Kelima hijab yang dimaksud adalah ketika Allah di hadapan mereka, adalah hijab (penutup) yang pertama. “Dan dari belakang mereka, ” adalah hijab yang kedua. Lalu Kami tutup mata mereka sehingga mereka tidak dapat melihat, (Qs. Yasin [36]:9) adalah hijab yang ketiga. Hijab yang keempat adalah firman Allah Swt yang menegaskan, Dan jiku kamu membaca Al-Qur’an, Kami jadikan di antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman dengan akhirat sebuah hijab yang menutupi, (Qs. al-Isra’ [17]: 45)
Sedangkan hijab yang kelima adalah firman Allah Swt yang berbunyi, Sesungguhnya Kami telah memasang be­lenggu di leher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, maka karena itu me­reka tertengadah. (Qs. Yasin [36]:
Orang Yahudi berkata, “Sesungguhnya Nabi Ibrahim As telah membungkam mulut orang ka­fir dengan kenabiannya.”
Ali berkata, “Benar! Pernah Nabi Muhammad Saw didatangi orang yang men­dustakan hari kebangkitan setelah kematian, orang itu adalah Ubai bin Khalaf al-Jumahi, dia membawa tulang yang hancur lalu berkata, “Wahai Muhammad, siapakah yang akan meng­hidupkan kembali tulang belulang ini padahal sudah hancur?” Lalu Allah menurunkan atas Muhammad sebuah ayat yang membungkam mulut orang itu, Yang akan menghidupkannya kembali ada­lah Yang menciptakannya pertama kali. Dia Maha Mengetahui akan segala sesuatu. (QS. Yasin [36]: 79)
Akhirnya orang itu diam seribu basa dan berlalu dari tempat itu. Orang Yahudi berkata, “Nabi Ibrahim telah menghancurkan patung-patung kaumnya dengan marah karena Allah Swt.”
Ali berkata, “Ya benar. Nabi Muhammad Saw telah merobohkan tiga ratus enam puluh patung di dalam Ka’bah dan mem­bersihkan semenanjung Arabia dari patung-pa­tung serta mengalahkan orang-orang yang me­nyembah patung dengan pedang.”
Orang Yahudi berkata, “Nabi Ibrahim As pernah dilemparkan oleh kaumnya ke dalam api, tetapi dia pasrah dan sabar, akhirnya Allah menjadikan api itu dingin dan menyelamatkan­nya. Apakah Allah berbuat yang sama terhadap Muhammad?”
Ali berkata, “Ya benar. Ketika Nabi Muhammad pergi ke Khaibar, seorang wanita Khaibar meracuninya, tetapi Allah men­jadikan racun itu dingin (tidak bereaksi) di da­lam perutnya sampai akhir ajalnya. Padahal racun itu, jika berada di dalam perut akan mem­bakar seperti api membakar. Itu adalah kekua­saan-Nya, janganlah kamu mengingkarinya.” [Sumber: www.wisdoms4all.com]

Cintailah AKU (kitab zabur)


Wahai Dawud!


Sampaikanlah kpd penduduk bumi bahwa AKU adalah kekasih orang-orang yang mencintai AKU


AKU adalah teman duduk bagi orang-orang yang mengajak AKU duduk.


AKU adalah penyantun bagi orang-orang yang santun dg mengingat-KU..


AKU adalah sahabat bagi orang yang bersahabat dengan-KU..


AKU adalah pilihan bagi orang yg memilih-KU...


AKU patuh kepada orang yg mematuhi-KU..


Seorang hamba yang mencintai AKU,


dan KU-ketahui itu benar-benar berangkat dari keyakinan hatinya,


pastilah AKU menerimanya untuk diri-KU..


AKU pun mencintai dia dengan cinta yg tidak pernah diterima oleh seorang makhluk pun.


Siapa saja yang mencari AKU dengan sungguh-sungguh maka ia pasti menemukan AKU.....


Wahai penduduk bumi !


Apa yang telah membuatmu tertipu...


bergegaslah menuju kemuliaan-KU..


menemani-KU dan duduk bersama-KU..


Beramah tamahlah dengan-KU,


niscaya AKU-pun beramah tamah denganmu dan secepatnya mencintaimu..


AKU menciptakan hati orang-orang yg merindukan-KU dari cahaya-KU,


dan aku menganugerahi mereka keagungan-KU."


Rasulullah saw bersabda,"Cintailah Allah karena nikmat yang Dia berikan kepadamu..Dan, cintailah aku karena Allah Swt."...ALLAH berfirman: "Jika kamu mencintai Allah maka ikuti Muhammad. Niscaya Allah akan mencintai kamu semua."...


(shodaqollahul adzim)

Sifat Imam


Rasulullah saw. dididik Allah Swt. secara langsung. Kepada beliau berguru Ali bin Abi Thalib. Kepada beliau dan Ali berguru para sahabat Nabi untuk memperoleh petunjuk dalam mengarungi samudera Ilahi. Abu Bakar ra. berkata, “Tinggalkan aku. Aku bukan yang paling baik di antara kamu selama ada Ali di tengah-tengah kamu.” Ucapan ini bukan hanya menunjukkan kerendahan hati yang berbicara, tetapi juga menunjukkan keutaman orang yang dibicarakannya. Berkata At-Tirmidzi, yang meriwayatkan hadist ini, “Ia (Abu Bakar) mengatakan itu karena ia tahu keadaan Ali kw., dan martabatnya dalam khilafah sebenarnya, yang pokok dan yang pasti, berdasarkan urutan, secara hakikat, meurut akal, dan atas keterikatan kepada Allah Swt. (takhallufan, wa tahaqquqan, wa ta’aqquqan, wa ta’alluqan) (Lihat Al-Bahrani, Ghayat Al-Maram, bab 53).

Umar berkata, “Tentang Ali, aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda dan menyebut tiga hal. Sekiranya satu saja dari yang tiga itu berkenaan dengan aku, ia lebih berharga dari apa pun yang dinaungi cahaya matahari. Waktu itu, aku berada bersama Abu ‘Ubadah, Abu Bakar, dan banyak sahabat lainnya. Tiba-tiba Nabi saw. menepuk bahu ‘Ali seraya berkata, “wahai Ali. Kamu adalah Mukmin yang pertama beriman, Muslim yang pertama berisalam, dan kedudukanmu terhadapku sama seperti kedudukan Harun terhadap Musa’.” (Ibnu Ali Al-Hadid, Syarh Najh Al-Balaghah. Al-Khawarizmi juga meriwayatkan hadits ini dalam Al-Manaqib).

Tidak cukup tempat dalam tulisan ini untuk memuat penilaian sahabat lain tentang Ali. Cukuplah di sini dikutip ucapan Mu’awiyah, yang sepanjang hidupnya memusuhi Ali. Sekali waktu, demi menyenangkan hati Mu’awiyyah, Al-Dhabi menceritakan kedatangannya dari pertemuan dengan Ali, “Aku datang kepadamu dari manusia yang paling bakhil (maksudnya Ali).” Di luar dugaan, Mu’awiyyah berkata, “Celakalah kamu. Bagaimana mungkin kamu menyebut dia manusia yang paling bakhil, padahal sekiranya ia memiliki rumah dari emas dan rumah dari jerami, ia akan memberikan rumah emasnya sebelum rumah jeraminya. Dia sendiri yang menyapu Baitul Mal dan melakukan shalat di dalamnya. Dia juga yang berbicara kepada emas dan perak, ‘Wahai kuning dan putih. Tipulah orang selainku!’ Dialah yang tidak akan meninggalkan warisan, walaupun seluruh dunia menjadi miliknya.”

Sebenarnya, Mu’awiyah hanya mengulang apa yang pernah dilaporkan kepadanya oleh Dhahar bin Dhamrah. Ketika Dhahar berada di istana Mu’awiyah, ia diminta untuk menceritakan sifat-sifat Ali. Anda tahu, pada waktu itu, Mu’awiyah mengharuskan para khatib Jumat mengutuk Ali di mimbar-mimbar dan menghukum orang yang tidak mau melakukannya. Siapa saja yang memuji Ali, maka ia akan dianggap subversif. Bahkan diam saja, tidak mengecam Ali, akan dipandang menentang penguasa. Misalnya, Hujur bin ‘Adi dan kawan-kawannya, mereka dihukum mati (sebagian dikubur hidup-hidup) karena tidak mau mengutuk Ali pada waktu shalat Jumat. Dalam kadaan seperti itu, tentu saja Dharar keberatan. Jika ia menceritakan yang sebenarnya, ia akan dianggap memuji dan mengkultuskan Ali. Bagi yang tidak senang bunga mawar, menyebut mawar itu harus sudah dianggap pujian, padahal harum adalah sifat mawar.

Al Haudh Untuk Insan Terpilih

KHOTBAH 94

Allah mengutus Nabi di saat manusia sedang tersesat dalam kebingungan dan sedang bergerak ke sana sini dalam kejahatan. Hawa nafsu telah menyelewengkan mereka dan tipu daya telah menyimpangkan mereka. Kejahilan yang amat sangat telah membuat mereka menjadi tolol. Mereka dibingungkan oleh ketidakpastian hal-hal dan kejahatan jahiliah. Kemudian Nabi SAWW berusaha sebaik-baiknya dalam memberikan kepada mereka nasihat yang tulus; beliau sendiri berjalan di jalan yang benar dan memanggil (mereka) kepada kebijaksanaan dan nasihat yang baik. •





Penyelamat Dunia(Ya Mehdi Help)

(Sebelum Penganjur Kebajikan ini,[1] urusan akan membusuk) hingga peperangan akan berkecamuk di antara Anda dengan kekuatan penuh, menonjolkan giginya; dengan tetek penuh dengan susu manis, tetapi dengan puting yang asam. Hati-hatilah, itu akan terjadi besok, dan hari esok itu akan segera datang dengan hal-hal yang tidak Anda ketahui. Orang yang berkuasa, bukan dari kerumunan ini, akan menegur orang-orang yang dahulu ditetapkan karena perbuatan buruk mereka, dan bumi akan menumpahkan perbendaharaan isinya dan melemparkan kuncinya ke hadapannya dengan raudah. la akan menunjukkan kepada Anda jalan perilaku yang adil dan menghidupkan lagi Al-Qur'an dan sunah yang telah menjadi tak bernyawa (di kalangan manusia).


ALLAHUMMASOLLIA' LA MUHAMMAD WA AALI MUHAMMAD.

WA A'JJIL FARAJAHUM!

Kosong Yg d Ciptakan Allah


Segala puji bagi Allah yang nilai-Nya tak dapat diuraikan oleh para pembicara, yang nikmat-nikmat-Nya tak terhitung oleh para penghitung, yang hak-hak-Nya (atas ketaatan) tak dapat dipenuhi oleh orang-orang yang berusaha menaati-Nya; orang yang tinggi kemampuan akalnya tak dapat menilai, dan penyelam pengertian tak dapat mencapai-Nya; la yang untuk menggambarkan-Nya tak ada batas telah diletakkan, tak ada pujian yang maujud, tak ada waktu ditetapkan, dan tak ada jangka waktu ditentukan. la mengadakan ciptaan dengan kodrat-Nya, menebarkan angin dengan rahmat-Nya, dan mengukuhkan bumi yang goyah dengan batu.

Pangkal agama ialah makrifat tentang Dia, kesempurnaan makrifat (pengetahuan) tentang Dia ialah membenarkan-Nya, kesempurnaan pembenaran-Nya ialah mempercayai Keesaan-Nya, kesempurnaan iman akan Keesaan-Nya ialah memandang Dia Suci, dan kesempurnaan Kesucian-Nya ialah menolak sifat-sifat-Nya, karena setiap sifat merupakan bukti bahwa (sifat) itu berbeda dengan apa yang kepadanya hal itu disifatkan, dan setiap sesuatu yang kepadanya sesuatu disifatkan berbeda dengan sifat itu. Maka barangsiapa melekatkan suatu sifat kepada Allah (berarti) ia mengakui keserupaan-Nya, dan barangsiapa mengakui keserupaan-Nya maka ia memandang-Nya dua, dan barangsiapa memandang-Nya dua, mengakui bagian-bagian bagi-Nya, dan barangsiapa mengakui bagian-bagian bagi-Nya (berarti) tidak mengenal-Nya, dan barangsiapa tidak mengenal-Nya maka ia menunjuk-Nya, dan barangsiapa menunjuk-Nya (berarti) ia mengakui batas-batas bagi-Nya, dan barangsiapa mengakui batas-batas bagi-Nya (berarti) ia mengatakan jumlah-Nya.

Barangsiapa mengatakan "dalam apa la berada", (berarti) ia berpendapat bahwa la bertempat, dan barangsiapa mengatakan "di atas apa la berada" maka ia beranggapan bahwa la tidak berada di atas sesuatu lainnya.
la Maujud tetapi tidak melalui fenomena muncul menjadi ada. la ada tetapi bukan dari sesuatu yang tak ada. la bersama segala sesuatu tetapi tidak dalam kedekatan fisik. la berbeda dari segala sesuatu tetapi bukan dalam keterpisahan fisik. la berbuat tetapi tanpa konotasi gerakan dan alat. la melihat sekalipun tak ada dari ciptaan-Nya yang dilihat. la hanya Satu, sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu yang dengannya la mungkin bersekutu atau yang mungkin la akan kehilangan karena ketiadaannya.

Iman, Kafir, Ragu, dan Dukungannya


وسُئِلَ عليه السلام عَنِ الاِِْيمَانِ، فَقَالَ: الاِِْيمَانُ عَلَى أَرْبَعِ دَعَائِمَ: عَلَى الصَّبْرِ، والْيَقِينِ، وَالْعَدْلِ، وَالْجَهَادِ: فَالصَّبْرُ مِنْهَا عَلَى أَربَعِ شُعَبٍ: عَلَى الشَّوْقِ، وَالشَّفَقِ وَالزُّهْدِ، وَالتَّرَقُّبِ: فَمَنِ اشْتَاقَ إِلَى الْجَنَّةِ سَلاَ عَنِ الشَّهَوَاتِ، وَمَنْ أشْفَقَ مِنَ النَّارِ اجْتَنَبَ الْـمُحَرَّمَاتِ، وَمَنْ زَهِدَ فِي الدُّنْيَا اسْتَهَانَ بِالْمُصِيبَاتِ، وَمَنِ ارْتَقَبَ الْمَوْتَ سَارَعَ فِي الْخَيْرَاتِ. وَالْيَقِينُ مِنْهَا عَلَى أَرْبَعِ شُعَبٍ: عَلَى تَبْصِرَةِ الْفِطْنَةِ، وَتَأَوُّلِ الْحِكْمَةِ وَمَوْعِظَةِ الْعِبْرَةِ وَسُنَّةِ الاََْوَّلِينَ فَمَنْ تَبَصَّرَ فِي الْفِطْنَةِ تَبَيَّنَتْ لَهُ الْحِكْمَةُ، وَمَنْ تَبَيَّنَتْ لَهُ الْحِكْمَةُ عَرَفَ الْعِبْرَةَ، وَمَنْ عَرَفَ الْعِبْرَةَ فَكَأَنَّمَا كَانَ فِي الاََْوَّلِينَ. وَالْعَدْلُ مِنْهَا عَلَى أَرْبَعِ شُعَبٍ: عَلَى غائِصِ الْفَهْمِ، وَغَوْرِ الْعِلْمِ وَزُهْرَةِ الْحُكْمِ،ِ، وَرَسَاخَةِ الْحِلْمِ: فَمَنْ فَهِمَ عَلِمَ غَوْرَ الْعِلْمِ، وَمَن صَدَرَ عَنْ شَرَائِعِ الْحُكْمِ وَمَنْ حَلُمَ لَمْ يُفَرِّطْ فِي أَمْرِهِ وَعَاشَ فِي النَّاسِ حَمِيداً. وَالْجِهَادُ مِنْهَا عَلَى أَرْبَعِ شُعَبٍ: عَلَى الاََْمْرِ بالْمَعْرُوفِ، وَالنَّهْي عَنِ الْمُنكَرِ، وَالصِّدْقِ فِي الْمَوَاطِنِ وَشَنَآنِالْفَاسِقيِنَ: فَمَنْ أَمَرَ بِالْمَعْرُوفِ شَدَّ ظُهُورَ الْمُؤمِنِينَ، وَمَنْ نَهَى عَنِ الْمُنْكَرِ أَرْغَمَ أُنُوفَ الْمُنَافِقِينَ،مَنْ صَدَقَ فِي الْمَوَاطِنِ قَضَى مَا عَلَيْهِ، وَمَنْ شَنِىءَ الْفَاسِقِينَ وَغَضِبَ لله غَضِبَ اللهُ لَهُ وَأَرْضَاهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. وَالْكُفْرُ عَلَى أَرْبَعِ دَعَائِمَ: عَلَى التَّعَمُّقِ وَالتَّنَازُعِ، وَالزَّيْغِ وَالشِّقَاقِ فَمَنْ تَعَمَّقَ لَمْ يُنِبْإِلَى الْحَقِّ، وَمَنْ كَثُرَ نِزَاعُهُ بِالْجَهْلِ دَامَ عَمَاهُ عَنِ الْحَقِّ، وَمَنْ زَاغَ سَاءَتْ عِنْدَهُ الْحَسَنَةُ وَحَسُنَتْ عِنْدَهُ السَّيِّئَةُ وَسَكِرَ سُكْرَ الضَّلاَلَةِ، وَمَنْ شَاقَّ وَعُرَتْعَلَيْهِ طُرُقُهُ وَأَعْضَلَعَلَيْهِ أَمْرُهُ وَضَاقَ مَخْرَجُهُ. وَالشَّكُّ عَلَى أَرْبَعِ شُعَب: عَلَى الَّتمارِي وَالهَوْلِ وَالتَّرَدُّدِ والاْسْتِسْلاَمِ فَمَنْ جَعَلَ الْمِرَاءَدَيْدَناًلَمْ يُصْبِحْ لَيْلُهُ وَمَنْ هَالَهُ مَا بَيْنَ يَدَيْهِ نَكَصَ عَلَى عَقِبَيْهِ وَمَن تَرَدَّدَ فِي الرَّيْبِوَطِئَتْهُ يَدَيْهِ نَكَصَ عَلَى عَقِبَيْهِ وَمَن تَرَدَّدَ فِي الرَّيْبِوَطِئَتْهُ سَنَابِكُ الشَّيَاطِينِ وَمَنِ اسْتَسْلَمَ لِهَلَكَةِ الدُّنْيَا وَالاَْخِرَةِ هَلَكَ فِيهِمَا.


Amirul Mukminin as ditanyai tentang keimanan, lalu ia berkata:

Iman berdiri di atas empat kaki: kesabaran, keyakinan, keadilan dan jihad.
Kesabaran pun mempunyai empat aspek: gairah, takut, zuhud, dan antisipasi (akan kematian)., maka barangsiapa bergairah untuk surga, ia akan mengabaikan hawa nafsunya; barangsiapa takut akan api (neraka), ia akan menahan diri dari perbuatan terlarang; dan barangsiapa mengantisipasi kematian ia akan bergegas kepada amal baik.

Keyakinan juga mempunyai empat aspek: penglihatan yang bijaksana, kecerdasan dan pengertian, menarik pelajaran dari hal-hal yang mengandung pelajaran, dan mengikuti contoh orang-orang sebelumnya. Oleh karena itu, barangsiapa melihat dengan bijaksana, pengetahuan bijaksana akan terwujud kepadanya, dan barangsiapa yang terwujud padanya pengetahuan bijaksana, maka ia akan menilai obyek-obyek yang mengandung pelajaran, dan barangsiapa menilai obyek-obyek yang mengandung pelajaran, samalah dia dengan orang-orang yang terdahulu.

Keadilan juga mempunyai empat aspek: pernahaman yang tajam, pengetahuan yang mendalam, kemampuan baik untuk memutuskan, dan ketabahan yang kukuh. Oleh karena itu, barangsiapa yang memahami akan mendapatkan kedalaman pengetahuan; barangsiapa mendapatkan kedalaman pengetahuan, ia meminum dari sumber keadilan; dan barangsiapa berlaku sabar, maka ia tak akan melakukan perbuatan jahat dalam urusannya, dan akan menjalani kehidupan yang terpuji di antara manusia.

Jihad juga mempunyai empat aspek: menyuruh orang berbuat baik, mencegah orang berbuat kemungkaran, berjuang (di jalan Allahj dengan ikhlas dan dengan teguh pada setiap kesempatan, dan membenci yang mungkar., maka barangsiapa menyuruh orang lain berbuat baik, ia memberikan kekuatan kepada kaum mukmin; barangsiapa menghentikan orang lain dari kemungkaran, ia menghinakan orang kafir; barangsiapa berjuang dengan ikhlas pada segala kesempatan, ia melaksanakan seluruh kewajibannya; dan barangsiapa membenci yang mungkar dan menjadi marah demi Allah, maka Allah akan marah untuk kepentingan dia dan akan tetap meridainya pada Hari Pengadilan.

Kekafiran berdiri pada empat topangan: mengumbar hawa nafsu, saling bertengkar, menyeleweng dari kebenaran, dan perpecahan., maka barangsiapa mengumbar hawa nafsu, ia tidak cenderung kepada yang benar; barangsiapa banyak bertengkar dalam kejahilan akan selalu buta terhadap yang benar; barangsiapa menyeleweng dari kebenaran, baginya baik menjadi buruk dan buruk menjadi baik dan ia tetap mabuk dengan kesesatan; dan barangsiapa membuat perpecahan (dengan Allah dan Rasul-Nya), jalannya menjadi sulit, urusannya menjadi rumit dan jalan lepasnya menjadi sempit.

Keraguan mempunyai empat aspek: ketidaknalaran, ketakutan, kegoyahan dan penyerahan yang tak semestinya kepada segala sesuatu., maka barangsiapa menempuh ketidaknalaran sebagai jalannya, baginya tak ada fajar setelah malam; orang yang takut akan apa yang menimpanya harus lari tunggang langgang; orang yang goyah dalam keraguan, iblis akan memijak-mijaknya; dan orang yang menyerah kepada kebinasaan dunia dan akhirat akan binasa di dunia dan akhirat.

Kebaikan Merubah Segalanya


Hidayah dari segi bahasa memiliki akar kata yang sama dengan hadiah. Dari asal katanya hidayah itu artinya pemberian yg diberikan secara lemah lembut. Menurut para ulama, hidayah itu ada beberapa macam yaitu:


1- Hidayah Naluri


Contohnya adalah yang diberikan kepada bayi yg baru lahir langsung bisa menyusu kepada ibunya, menangis ketika ngompol, dan lain-lain.


2- Hidayah Indrawi


Selain hidayah naluri, ada hidayah indrawi yg bisa didapat melalui panca indra. Melalui panca indra, manusia dapat mengenali bentuk, bau, rasa, suara dan raba.


3- Hidayah Akal


Hidayah indrawi yang didapat melalui panca indra tersebut di atas kadang suka salah dalam mempersepsikan, misalnya ketika kita lihat tongkat yg tercelup di air, terlihat bengkok, padahal sebenarnya kan tidak bengkok. Nah, untuk meluruskan indra ini maka manusia membutuhkan hidayah Akal. Dimana akal bisa "meluruskan tongkat yg bengkok" tadi dengan ilmu pengetahuan yg diolahnya.


4- Hidayah Agama


Di luar itu ada wilayah-wilayah yang akal tidak mampu untuk menjangkaunya, maka manusia membutuhkan hidayah lain yang dinamakan hidayah agama.


Allah Maha Adil. Semua makhluk (bukan hanya manusia) telah diberi hidayah oleh Allah SWT. Seperti disebutkan dalam Al-Quran Surat Al-A'laa: 1-3 berikut ini:


“Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tingi, Yang Menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk”



Jadi semua makluk Allah itu sudah diberi hidayah. Semua manusia sudah diberi hidayah oleh Allah. Kepada manusia sudah diberi hidayah naluri, indra, akal, sudah diturunkan kitabullah, sudah diutus Nabi dan Rasul untuk menjelaskannya, dan lain-lain. Tapi manusia adalah makhluk yg terhormat, dia diberi kebebasan untuk memilih jalan. Mau jalan yang benar atau yang salah itu adalah pilihan masing-masing individu. Kalau manusia mau ke jalan yang benar maka Allah akan tunjukkan. Kalau mau ke jalan yang sesat, maka ia akan juga sampai pada yang dipilihnya tersebut.


Jadi syarat untuk memperoleh hidayah Allah itu yang pertama adalah kita harus MAU untuk menerimanya. Jadi kita yang harus aktif untuk mendapatkan petunjuk tersebut. Hidayah itu bak matahari, semua orang bisa mendapatkannya kalau mau. Kalau kita berlindung di dalam rumah atau ruangan yang tertutup, maka kita tidak akan dapat cahayanya. Kalau mau dapat sinar matahari, keluarlah, jangan tutupi sinarnya. Jadi dalam konteks mau tersebut, kemudian kita harus melakukan usaha-usaha yg mendukung ke arah sana. Kalau kita misalnya besok mau naik pesawat jam 5 pagi, maka kita harus bangun pagi lebih awal supaya tidak terlambat. Itu sebagai bukti bahwa kita memang mau naik pesawat jam 5 pagi tsb. Hanya mau tanpa usaha, tidak ada artinya.


Selain itu, kalau kita lihat beberapa ayat al-Quran, disebut juga ada beberapa kelompok/golongan yang tidak akan diberi hidayah oleh Allah, diantaranya:


1- Orang-orang yg menutupi (kafir) kebenaran. Mereka ini menutup mata dan telinganya untuk memperoleh kebenaran. Orang semacam ini kata Allah tidak akan mendapat petunjuk kebenaran tersebut:


“Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan Haram itu[642][1] adalah menambah kekafiran. disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, Maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” (QS At-Taubah: 37)


2- Orang-orang fasik, yaitu orang-orang yang bergelimang dosa, orang yang tahu mana yang benar dan mana yang salah tapi dia tetep melakukan dosa demi dosa.


“Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka. yang demikian itu adalah Karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS At-Taubah: 80)


3- Orang-orang yg melupakan Allah, maka Allah pun akan melupakannya


“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang Telah diberikan kepada mereka, kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang Telah diberikan kepada mereka, kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa” (QS Al-An'am:44.)


“Mereka telah lupa kepada Allah, Maka Allah melupakan mereka.” (QS At-Taubah: 67)


Kemudian setelah mau dan berusaha sekuat daya untuk mencarinya dan menghindari untuk masuk ke dalam golongan-golongan yang tidak akan diberi hidayah Allah, maka selanjutnya yang bisa kita lakukan adalah berdoa supaya kita selalu diberi petunjuk dan bimbingan ke jalan yang lurus. Mangkanya setiap Sholat, kita selalu bermohon:


"Ihdina as-shirat al-mustaqiim". (Ya Allah, bimbinglah kami ke jalan yang lurus)


“Shirat al-ladziina ‘an‘amta ‘alaihim” (Jalannya orang2 yg Engkau beri Nikmat)


“Ghairi al-Maghdubi alaiihim wa la ad-Dhaalin”. (Bukan Jalan orang-orang yangg dimurkai dan juga sesat).


Konteks permohonan dalam surat al-Fatihah yang dikutip di atas dimaksudkan untuk bukan sekedar meminta petunjuk untuk kita melaksanakannya. Tapi juga bermohon untuk diantar/dibimbing sampai ke jalan yang lurus tersebut, yaitu as-sirath al-mustaqim. Karena bisa saja kita tahu petunjuk jalan ke suatu tempat, tapi pada prakteknya kita melenceng tersesat ke mana-mana karena berbagai sebab.


Jadi semua orang bisa mendapatkan hidayah Allah, kalau syarat-syarat itu dilakukan. Kalau syarat-syarat nya sudah dilakukan, kemudian dia sudah melakukan usaha sekuat tenaga tapi belum menemukan kebenaran, mungkin juga belum nemui orang yang menyampaikan risalah Allah kepadanya (mungkin seperti orang-orang pedalaman papua, dayak, dan lain-lain), maka Allah Maha Adil dan Bijaksana. Wallahu a’lam bishowab

DOA KESELAMATAN

اَللّهُمَّ ارْزُقْناَ تَوْفِيْقَ اَلطَّاعَةِ وَبُعْدَ الْمَعْصِيَّةِ وِصِدْقَ الْنِيَّةِ وَعِرْفَانَ الْحُرْمَةِ وَاكْرِمْناَ بِالْهُدَىْ وَالإسْتِقَامَةِ وِسَدِّدْ أَلْسِتَناَ بِالصَّوَابِ وَاْلحِكْمِةِ وَامْلأْ قُلُوْبَناَ بِالْعِلْمِ وَالْمَعْرِفَةِ وَطَهِّرْ بُطُوْنَناَ منَ الْحَرَاْمِ وَالْشُّبْهَةِ وَاكْفُفْ أَيْدِيَناَ عَنِ الْظُّلْمِ وَالْسِّرْقَةِ وَاغْضُضْ أَبْصَآرَناَ عَنِ اْلفُجُوْرِ وَالْخِياَنَةِ وِاسْدُدْ أَسْمَآعَناَ عَنِ الَّلغْوِ وَاْلغِيْبَةِ وَتَفَضَّلْ عَلَى عُلَمَآئِنَا بِالزُّهْدِ وَالنَّصِيْحَةِ وِعَلَى الْمُتَعَلِّمِيْنَ بِالْجُهْدِ وَالرَّغْبَةِ وَعَلَى الْمُسْتَمِعِيْنَ بِالإِتِّباَعِ وَالْمَوْعِظَةِ وَعَلَى مَرْضَى الْمُسْلِمِيْنَ بِالشِّفَآءِ وَالرَّحَةِ وَعَلَى مَوْتاَهُمْ بِالرَّافَةِ وَالرَّحْمَةِ وَعَلَى مَشاَيِخِناَ بِالوِقَارِ وَالسِّكيْنَةِ وَعَلَى الشَّباَبِ بِالإناَبَةِ وَالتَّوْبَةِ وَعَلَى النِسَآءِ بِالحَيآءِ وَالعِفَّةِ وَعَلى الأَغنيِاءِ بِالتَوَاضُعِ وَالسَّعَةِ وَعَلَى الفُقَرَآءِ بِالصَبْرِ وَالقَناَعَةِ وَعَلَى الغُزَاةِ بِالنَصْرِ واَلغَلبَة وَعَلى الأُسرَآءِ بِالخَلاَصِ وَالرَّاحَة وَعَلَى الأُمَرَآء بِالعَدْلِ وَالشَفَقَة وَعَلَى الرَعِيَّةِ بِالإِنْصَافِ وَحُسْنُ الِسيْرَةِ وَبَارِكْ لِلْحُجَّاجِ وَالزُّوَارِ فِيْ الزاَّدِ وَالنفَقَةِ وَاقْضَ مَآ أَوْجَبَتْ عَلَيْهِمْ مِنَ الحَجِّ وَالعُمْرَةِ بِفَضْلِكَ وَ رَحمتكَ يآأَرحَمَ الرَّحمين وَ صَلَّى الله عَلَى سيّدنَا مُحَمَّد وَعَلَى آله الطَآهرين وَ صَحْبِهِ الأَخيَار وَالحَمْدُ للهِ رَبِّ العَآلمِيْن.



Ya Allah, karuniakan pada kami kemudahan untuk taat, menjauhi maksiat,ketulusan niat, dan mengetahui kemuliaan.. Muliakan kami dg hidayah dan istiqomah.. Luruskan lidah kami dg kebenaran dan hikmah.. Penuhi hati kami dg ilmu dan makrifat.. Bersihkanlah perut kami dari haram dan syubhat, Tahanlah tangan kami dari kezaliman dan pencurian.. Tundukkanlah pandangan kami dari kemaksiatan dan penghianatan.. Palingkanlah pendengaran kami dari ucapan yg sia-sia dan umpatan.. Karuniakanlah kepada ulama kami kezuhudan dan nasihat.. Pada para pelajar kesungguhan dan semangat.. Pada para pendengar kepatuhan dan kesadaran.. Pada kaum muslimin yg sakit,kesembuhan dan ketenangan.. Pada kaum muslimin yg meninggal,kasih sayang dan rahmat.. Pada orang-orang tua kami kehormatan dan ketentraman.. Pada para pemuda kembali (pada jalan Allah) dan taubah.. Pada para wanita rasa malu dan kesucian.. Pada orang-orang kaya rendah hati dan kemurahan.. Pada para pejuang kemengangan dan penaklukan.. Pada para tawanan kebebasan dan ketenangan.. Pada para pemimpin keadilan dan rasa sayang.. Pada seluruh rakyat kejujuran dan kebaikan akhlak.. Berkatilah pada jemaah haji dan para penziarah dalam bekal dan nafkah.. Sempurnakanlah haji dan umrah yang Engkau tetapkan bagi mereka.. dengan karunia dan rahmat-Mu. Wahai Yang Paling Pengasih dari semua yg mengasihi.