Keadilan ilahi merupakan salah satu dari permasalahan yang sangat penting dalam akhidah dan teologi. Keadilan sebagaimana halnya dengan tauhid merupakan salah satu pembahasan sifat Allah. Akan tetapi, karena pentingnya menerima dan meyakini sifat tersebut sehingga memiliki tempat khusus dalam perbahasan akhidah dan teologi Islam. Karena urgensinya, pembahasan tersebut ia menjadi salah satu dari rukun-rukun iman (ushuluddin) yang lima atau rukun-rukun keimanan mazhab (ushulul mazhab) disamping rukun-rukun yang lain seperti tauhid, kenabian, keimamahan, eskatologi (ma’ad, hari akhirat), dan tidak dinafikan lagi bahwa posisi yang penting ini disebabkan oleh beberapa faktor. Di sini kami hanya akan menyebutkan dua faktor yang paling penting:
1. Keadilan Ilahi memiliki cakupan yang sangat luas, penerimaan atasnya memiliki peranan yang sangat penting terhadap pandangan kita terhadap Tuhan, dan dengan kata lain teologi Islam bergantung pada keadilan ilahi. Keadilan Ilahi memiliki hubungan yang sangat erat dengan sistem penciptaan alam (takwini) dan hukum-hukum agama (tasyri’i), penerimaan atas konsep keadilan ilahi akan merubah seluruh pandangan hidup kita terhadap dunia, selain itu, keadilan ilahi merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam menetapkan persoalan eskatologi, pahala, siksa, dan azab akhirat, dan pada akhirnya keadilan Ilahi bukanlah hanya persoalan teologi semata dan perbedaan sudut pandang teologis. Keimanan terhadap qadha dan qadar Ilahi, memilik sudut pandang pendidikan dalam perilaku manusia, memberikan semangat untuk menegakkan keadilan, dan memberantas kezaliman dalam kehidupan bermasyarakat dan kemanusian.
2. Keadilan Ilahi dalam sejarah pemikiran teologi terutama pada abad pertama sejarah Islam sudah menjadi perbincangan dan perdebatan. Para Imam Suci sejak awal sudah menegaskan tentang keadilan Ilahi, sehingga kalimat tersebut menjadi syiar bagi mazhab Syiah Imamiah. Tauhid dan keadilan adalah pandangan pendukung Imam Ali As dan tasybih (penyerupaan Tuhan dengan makhluk-Nya) dan keterpaksaan (jabr, determinasi) adalah pandangan para pendukung Muawiyyah.
Teologi Imamiah dan teologi Muktazilah mengikuti jejak para Imam Suci tersebut dalam pandangan tentang keadilan Ilahi dan pada akhirnya terkenal sebagai kelompok ‘Adliyyah yang berseberangan dengan kelompok Asy’ariyyah yang menolak pandangan terhadap keadilah Ilahi, Asy’ariyyah mengingkari defenisi keadilan yang dipahami secara umum. Dalam pandangan mereka, Tuhan bisa saja memasukkan seluruh Mukmin ke dalam neraka dan memasukkan seluruh kafir ke dalam syurga, karena segala perbuatan Tuhan itu adalah keadilan itu sendiri.
Bagaimana pun, dalam masalah ini, sebagaimana halnya pembahasan qadha dan qadar, keterpaksaan dan kehendak bebas, para pemimpim zalim ketika mereka merebut khilafah dengan cara yang tidak sah dan lalu menyandarkan khilafahnya kepada Rasulullah Saw, dan untuk menjaga kepentingan mereka yang tidak sesuai dengan syariat mereka kemudian menolak pandangan keadilan Ilahi untuk membenarkan seluruh perbuatan ketidakadilan dan kedzaliman mereka, oleh karena itu, dalam catatan sejarah pembahasan keadilan Ilahi merupakan faktor yang sangat penting dan mempunyai posisi yang lebih strategis dibanding dengan sifat-sifat Tuhan yang lain.
1. Keadilan Ilahi memiliki cakupan yang sangat luas, penerimaan atasnya memiliki peranan yang sangat penting terhadap pandangan kita terhadap Tuhan, dan dengan kata lain teologi Islam bergantung pada keadilan ilahi. Keadilan Ilahi memiliki hubungan yang sangat erat dengan sistem penciptaan alam (takwini) dan hukum-hukum agama (tasyri’i), penerimaan atas konsep keadilan ilahi akan merubah seluruh pandangan hidup kita terhadap dunia, selain itu, keadilan ilahi merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam menetapkan persoalan eskatologi, pahala, siksa, dan azab akhirat, dan pada akhirnya keadilan Ilahi bukanlah hanya persoalan teologi semata dan perbedaan sudut pandang teologis. Keimanan terhadap qadha dan qadar Ilahi, memilik sudut pandang pendidikan dalam perilaku manusia, memberikan semangat untuk menegakkan keadilan, dan memberantas kezaliman dalam kehidupan bermasyarakat dan kemanusian.
2. Keadilan Ilahi dalam sejarah pemikiran teologi terutama pada abad pertama sejarah Islam sudah menjadi perbincangan dan perdebatan. Para Imam Suci sejak awal sudah menegaskan tentang keadilan Ilahi, sehingga kalimat tersebut menjadi syiar bagi mazhab Syiah Imamiah. Tauhid dan keadilan adalah pandangan pendukung Imam Ali As dan tasybih (penyerupaan Tuhan dengan makhluk-Nya) dan keterpaksaan (jabr, determinasi) adalah pandangan para pendukung Muawiyyah.
Teologi Imamiah dan teologi Muktazilah mengikuti jejak para Imam Suci tersebut dalam pandangan tentang keadilan Ilahi dan pada akhirnya terkenal sebagai kelompok ‘Adliyyah yang berseberangan dengan kelompok Asy’ariyyah yang menolak pandangan terhadap keadilah Ilahi, Asy’ariyyah mengingkari defenisi keadilan yang dipahami secara umum. Dalam pandangan mereka, Tuhan bisa saja memasukkan seluruh Mukmin ke dalam neraka dan memasukkan seluruh kafir ke dalam syurga, karena segala perbuatan Tuhan itu adalah keadilan itu sendiri.
Bagaimana pun, dalam masalah ini, sebagaimana halnya pembahasan qadha dan qadar, keterpaksaan dan kehendak bebas, para pemimpim zalim ketika mereka merebut khilafah dengan cara yang tidak sah dan lalu menyandarkan khilafahnya kepada Rasulullah Saw, dan untuk menjaga kepentingan mereka yang tidak sesuai dengan syariat mereka kemudian menolak pandangan keadilan Ilahi untuk membenarkan seluruh perbuatan ketidakadilan dan kedzaliman mereka, oleh karena itu, dalam catatan sejarah pembahasan keadilan Ilahi merupakan faktor yang sangat penting dan mempunyai posisi yang lebih strategis dibanding dengan sifat-sifat Tuhan yang lain.